SEPERTI Sabtu malam sebelumnya, Adra menjemputku dengan motor sport-nya. Aku tengah menunggunya di teras rumah, sembari mendengarkan musik dari iPod dan menatapi taburan bintang yang ramai di langit, ketika ia sampai di rumahku.
“Kita ke kafe milik Oom Ardan yuk, udah lama juga nih nggak ke sana,” ajaknya, kemarin. Ceria seperti biasa. Penuh semangat seperti biasa. “Katanya ada menu baru, Asian Night Cake dan Billion Stars Juice. Penasaran kan...?” ia menutup kata-katanya dengan tawa renyah, gentel seperti biasa. Semua yang ada pada Adra telah kuhafal, karena aku sangat menyayanginya.
“Alaah, bilang aja mau promosi,” kucubit pipinya yang sedikit berjerawat. Cowok beralis tebal itu menepis tanganku dan menggenggamnya, sebelum akhirnya bel masuk berbunyi dan kami harus mengakhiri pertemuan itu.
Tapi bukan itu yang aku risaukan. Bukan pertemuan yang berakhir karena bel masuk—itu sangat biasa—atau rutinitas hang out kami tiap Sabtu malam. Tapi sesuatu yang kudengar tiga hari lalu—
“Met malem, Padma yang imut...” suara baritonnya yang lembut membawaku kembali ke dunia nyata dengan paksa. Ia hadir dengan kostum rapi dan wangi cokelat pada parfum favoritnya.
“Eh, kamu...” berusaha tersenyum, mengimbangi cerianya, “cepet banget, Dra, aku kira bakal ngaret.”
“Eits... nggak ada kompromi buat ngaret, Sayang. Aku harus selalu datang tepat waktu. Atau kamu udah ngantuk duluan dan aku nggak bisa ngeliatin wajah imut kamu itu,” godanya.
“Iiih... kalo ngegombal terus aku teriak nih ya,” kucubit pinggangnya.
“Oouch... jangan dong, nanti sekomplek bisa heboh,” tangannya lagi menepis tanganku dan menggenggamnya. Udara malam membuat telapak tangannya terasa dingin. “Aku pamit ke Ayah-Bunda dulu, oke?”
Aku mengangguk mengiyakan, sementara Adra masuk ke rumah untuk pamit dengan orangtuaku.
Tiga hari yang lalu di rumah...
“... Padma, Ayah pingin tahu, setelah lulus nanti, kamu mau lanjut kuliah di mana?”
Makan malam yang berjalan lancar seperti biasa, berubah hawanya menjadi agak aneh karena pertanyaan itu. “Ehm... belum pasti sih, Yah. Padma mau nyoba ke UI dan ITB dulu,” jawabku sembari meraih gelas berisi air putih dingin.
“Bagus itu, kamu harus belajar keras, lho, Nak,” Ibu tersenyum bangga.
Ayah menuang teh dari teko. “Teman Ayah, Pak Faisal, punya anak yang sekolah di Tokyo Daigaku atau University of Tokyo. Di sana standar pendidikannya sudah bagus dan sebentar lagi negara-negara Asia akan bangkit melawan Amerika. Jepang adalah salah satu negara yang diperhitungkan untuk memimpin kebangkitan itu selain China dan India,” ujar Ayah panjang lebar.
Aku pernah membaca artikel dengan tema yang sama di koran. Tapi bersekolah di Jepang, aku rasa...
“Ayah akan minta tolong pada Mas Alif, anak Pak Faisal, untuk memberikan bimbingan beasiswa Monbukagakusho buat kamu, musim panas ini. Itu berarti, saat liburan sekolah besok. Gimana?”
Aku menatap Ibu yang tersenyum sembari memberikan lirikan yang berkata, “Ayo, ikut saja...”
Diriku diliputi keraguan. Bersekolah di Jepang? Itu berarti... harus berpisah dengan teman-teman dan... Adra??
“Ayah—”
“Ayah yakin, kamu pasti ingin sekali membanggakan Ayah dan Ibumu ini kan?” Ayah berkonfirmasi sambil menatap mata Ibu yang bersinar. Memiliki anak yang berkuliah di luar negeri, apalagi di negeri sakura, adalah kebanggaan di keluarga kami. Namaku akan dibicarakan di arisan keluarga dan pertemuan keluarga tahunan saat hari raya, seperti sepupu-sepupuku.
“Ehmm... nggak ada salahnya dicoba—”
“Yang benar, ‘nggak ada salahnya berusaha sebaik yang kamu bisa’. Ya kan?”
Di taman, malam ini...
Menghabiskan waktu di kafe unik milik Oom Ardan, paman Adra, dengan orang yang aku sayangi sedari kecil seperti Adra adalah hal yang menyenangkan. Tapi tetap saja keputusan sepihak Ayah tiga hari lalu membuat pikiranku terus tertuju pada hal itu. Aku memang ingin selalu membuat orangtuaku bangga, tapi... apakah harus dengan cara itu?
Dan Adra, aku rasa, mampu membaca sikapku yang berbeda malam ini, hingga ia memutuskan untuk berhenti di sebuah taman yang terang benderang oleh lampu jalan, tetapi sepi.
“Adra... udah malem. Kenapa nggak pulang aja?”
“Aku pingin bertanya satu hal sama kamu.”
Aku tersenyum, mencoba menenangkan dan menyembunyikan kegalauanku. “Tanya aja, Dra...”
Cowok berhidung mancung itu terdiam sambil menatap ayunan taman yang kosong. Mungkin dia berpikir sejenak. Lalu mulai berkata, “Kamu anggap aku sebagai siapa?”
Aku tertegun. “Kamu...?” lalu mendengus, mencoba mencairkan suasana. “Aku sayang kamu...” sudah tak ada kecanggungan bagiku untuk mengeluarkan kata-kata itu. “Kalau kamu cuma kuanggap sebagai pacar, kayaknya kurang... Kamu lebih dari itu, Dra.” Tanganku menggenggam tangannya yang kasar dan keras, khas tangan cowok.
“Aku juga sayang kamu. Bahkan ternyata sebelum aku mengucapkannya pertama kali, aku sudah sayang sama kamu.”
“So, buat apa kamu tanyain lagi?”
“Kalau begitu ceritakan padaku. Ceritakan apa yang bikin sikapmu jadi aneh seperti ini... tatapan matamu kosong, keceriaanmu kayaknya dipaksakan, kamu nggak bisa nyembunyiin itu dari aku, Padma...”
Sudah kuduga. Aku berjalan menjauhinya, dan duduk di salah satu bangku taman. “Ayah...”
“Kenapa Ayah? Beliau tidak setuju kita—”
“Bukan. Bukan... orangtuaku setuju... Tapi...” dan mulailah ceritaku tentang tiga hari lalu. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan yang nanti akan tiba. Bila aku tak berusaha keras, itu artinya aku sengaja mengecewakan orangtuaku. Tapi bila aku benar-benar berusaha dan akhirnya berhasil, aku akan meninggalkan semuanya dari Indonesia. Termasuk Adra... orang yang amat penting buatku. Aku benar-benar bingung. Aku tak ingin mengorbankan salah satu. Dua sisi berlawanan yang terus menarikku ke salah satunya. Kegalauanku memuncak, melihat Adra tertunduk. Apa aku telah membuatnya sedemikian sedih? Apa dia terpaksa harus mengalah? Adra... katakan sesuatu, jangan diam saja...! Ceritaku usai, tapi air mataku memulai babak baru. Aku bersyukur taman ini sepi, hanya Adra yang bisa melihat air mataku karena cahaya lampu begitu terang.
“Padma...” Adra mendekat. “Bangunlah, jangan terlalu memikirkan hal itu,” Adra menggenggam tanganku dan menarikku agar berdiri. “Tak baik menangis malam-malam di tempat sepi seperti ini. Kalau ada orang yang lewat, nanti suaramu bisa dikira kuntilanak, hahaha!”
Di tengah situasi menyulitkan seperti ini, cowok itu tetap saja punya alasan untuk berkelakar. Tapi, harus kuakui, apapun alasannya, senyum Adra selalu berhasil menguatkanku. “Ah, kamu!” kuseka air mata, lalu menjewer telinga kanan Adra.
“Hahaha... Padma,” katanya saat aku sudah berdiri dan berhenti menangis. “Tenanglah... jangan khawatir,” tangan kanannya merayap di punggungku dan perlahan kami saling mendekat. Aku sedikit membeku. Kami belum pernah melakukan ini sebelumnya. Aku pikir, berpegangan tangan dan saling cubit atau jewer sudah cukup, tapi Adra memperlakukanku dengan sangat lembut. “Kalau kamu mau, kita akan berjuang bersama-sama. Akan ada dua kursi tersedia buat kita di Universitas Tokyo,” katanya setengah berbisik. Suara baritonnya amat hangat dan menenangkan. Tubuhku yang kaku perlahan melunak.
“Apa?” bisikku sambil melepaskan pelukannya sejenak.
“Nggak masalah. Aku akan berjuang bersamamu. Kita akan berkuliah bersama-sama di universitas itu, tahun depan. Kamu akan membuat orangtuamu bangga, dan kita nggak perlu berpisah,” Adra tersenyum lagi hingga matanya berbentuk garis.
“Tapi... kamu kan pingin banget ke ITB, Dra...”
“Toh, Universitas Tokyo juga bagus, bahkan lebih bagus dari ITB kan?” jemarinya membelai lembut pipi kiriku.
“Adra, emm... makasih,” aku larut dalam dekapannya lagi hingga aku bisa merasakan denyut jantung dari dalam dadanya yang keras.
“Jangan khawatirkan sesuatu yang kecil. Tenangkanlah pikiranmu. Jangan biarkan hal-hal seperti itu menekanmu dan membuatmu jatuh. Aku... nggak mau kehilangan kamu dengan cara-cara yang konyol. Semuanya bisa kita bicarakan, Padma...”
Aku menangkap maksud Adra. Mungkin ia teringat oleh Michelle Wong, cewek Singapura yang Karfa ceritakan pada Adra, aku, Gery, Miko, dan Risa selepas liburan kenaikan kelas yang lalu. Saat Karfa mendapat kesempatan berlibur gratis ke Bali bersama Oom Ardan, sang bos, mereka bertemu dengan sekelompok turis Singapura. Mereka adalah Michelle, Jimmy, dan paman mereka—aku lupa namanya. Jimmy adalah kakak lelaki Michelle. Saat mereka berlibur, Michelle mencoba bunuh diri dengan mengiris urat nadi. Semuanya karena Jimmy tidak tahu bahwa Michelle masih amat kehilangan ayahnya yang tewas karena menjadi korban bom Bali beberapa tahun silam, saat mereka tengah berlibur juga. Semua kegalauan yang Michelle hadapi tak Jimmy ketahui, dan Michelle harus memendamnya sendiri.
“Kamu teringat sama cerita Karfa ya?” tanyaku menatap mata Adra yang sedikit sendu.
“Aku belajar banyak dari cerita Karfa. Kita nggak sendirian. Meskipun kita mampu menyelesaikannya sendiri, nggak ada salahnya sekadar membagi masalah yang kita hadapi dengan orang yang kita sayangi atau percaya. Setiap manusia punya batas akhir akal sehat demi sebuah jalan keluar.”
Aku mendengus. Kini aku sudah rileks dan tenang. “Aku memiliki iman, Adra. Aku tak akan seperti Michelle, aku janji,” kusodorkan jari kelingkingku pada cowok itu. Ia menerimanya dan jari kelingking kami saling kait.
“Aku hanya khawatir, Padma. Ini adalah tahun terakhir kita. Jangan sampai kita nggak lulus UAN hanya karena kita depresi karena hal kecil. Kalau nggak lulus UAN, semua hal seolah nggak berjalan dengan baik. Seolah dunia ini udah kiamat dan kita nggak berhak menapakinya lagi...”
“Maka dari itu, ayo kita berjuang bersama. Semua hal yang kita takutkan tidak akan terjadi. Dan semua bakal baik-baik aja, aku yakin itu...” semoga Adra bisa melihat semangat yang menyala dalam kata-kataku. Kekuatan ini berasal darinya. Aku ingin menunjukkan bahwa aku sudah menerima dengan sempurna kekuatan yang ia bagikan untukku.
“Hahaha...” ia tertawa. “Itulah Padma yang kukenal,” Adra mengacak-acak rambutku dan memelukku lagi. “Berjuang sampai tujuan kita tercapai. Oke!”
“Oke!”
Malam makin larut. Kami sadar akan hal itu. Maka Adra tak ingin menunda waktu lagi untuk segera mengantarku pulang.
Kami setuju dibilang kuno. Kami tak ingin mengikuti adat dan kebiasaan pasangan lain yang dengan gampangnya mereka menanggalkan pakaian dan berakhir di ruang aborsi. Adra menghargaiku sebagai wanita muda. Dan aku pun menghargainya sebagai pria. Tapi, tadi, adalah hal baru yang kami lakukan. Aku mungkin tidak tahu perasaan Adra secara tepat dan pasti, tapi dalam pelukannya, aku bisa menemukan ketenangan dan rasa aman. Meski sedikit, Adra telah memberiku kekuatan yang penting sekali.
“Aku sayang kamu,” bisiknya saat aku hendak masuk rumah.
Aku yakin, ia bahagia karena telah berhasil mengusir kegalauanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H