Sekarang telah menjadi lautan api. Mari Bung rebut kembali...
Begitulah sepenggal lirik dari lagu Halo-Halo Bandung yang sepertinya sudah tidak asing lagi terdengar oleh sebagian besar Kompasianer. Lagu ini menjadi sedikit bocoran sejarah tentang Kota Bandung yang dikenal lewat peristiwa Lautan Api yang terjadi di tahun 1946.
Di sini saya tidak akan membahas soal sejarah itu, melainkan sesuatu baru yang lebih seru diulik. Seperti yang kita tahu Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Maka tak heran jika Bandung menjadi pilihan destinasi wisata, pendidikan, kuliner, dan banyak lagi.
Orang-orang biasanya menganggap Bandung sebagai kota yang romantis, syahdu, dan menenangkan. Ya tidak salah, sih. Tapi banyak sekali sisi lain yang tak terlihat di sini. Mulai dari kemacetan, pungli di mana-mana, banjir, sampai sarana transportasi umum yang masih sangat tertinggal jika dibandingkan dengan Ibu Kota Jakarta.
Nah, poin terakhir tadilah yang akan saya bahas di sini, yaitu perihal transportasi umumnya. Beberapa netizen Bandung bahkan menyebutkan bahwa Bandung bukan lagi lautan api, melainkan lautan flyover karena saking terlalu banyaknya flyover yang dibangun pemerintah setempat sebagai upaya mengurangi kemacetan, katanya.
Padahal kenyatannya pembangunan flyover ini justru lebih mendukung kendaraan pribadi, sedangkan transportasi umum sejak dulu tak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini jelas membuat orang-orang lebih memilih transportasi pribadi yang lebih terjangkau dan menghemat waktu.
Contohnya saja dari pengalaman saya pribadi ketika pernah bekerja di Banjaran, Kabupaten Bandung di mana tempat tinggal saya di Kota Cimahi. Cimahi dan Kabupaten Bandung sebenarnya masih termasuk Bandung Raya di mana tentunya saya akan melewati Kota Bandung jika akan pulang-pergi ke rumah dan tempat kerja.Â
Cimahi dan Banjaran itu sangat jauh dengan jarak sekitar 30 KM dengan menghabiskan waktu lebih dari 1 jam jika lancar menggunakan sepeda motor. Di jarak yang sejauh ini pun saya belum bisa menemukan transportasi umum yang benar-benar pas. Naik angkot harus berkali-kali, naik bus jurusannya sangat sulit ditemui, kereta lokal jelas tidak melewati, maka menggunakan kendaraan pribadi adalah satu-satunya cara.