"Ini perjanjiannya, lengkap dengan pasal-pasal yang harus kamu pahami."
Adyan menyerahkan beberapa lembar kertas ukuran A4 itu pada perempuan berambut pendek di depannya. Di sebuah kafe yang cukup sepi jam tujuh malam itu, Jesi, sang lawan bicara, mencoba memahami setiap aturan yang tercantum di sana. Sedikit ribet dan terlalu detail hanya untuk sesuatu yang sederhana.
Jesi membaca ulang dari halaman awal untuk benar-benar memastikan. Tidak boleh ada dokumentasi apapun demi meminimalisir terjadinya revenue porn, oke cukup masuk akal. Lalu dilarang berselingkuh atau dengan kata lain tak boleh berganti pasangan selama perjanjian ini berlaku. Masih bisa dipahami.
Beberapa poin lain dalam pasal-pasal itu membahas juga soal penyerahan tes kesehatan rutin selama dua bulan sekali bagi keduanya, tentang jenis permainan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, alat-alat tambahan apa saja yang bisa digunakan, sampai soal bolehnya memakai pengaman atau tidak.
"Denda? Seriously?" Dahi Jesi mengerut ketika poin terakhir dibacanya dua kali. Ia tidak salah bahwa di sana tertulis denda yang tak sedikit jika satu dari mereka melanggar satu atau lebih aturan yang tercantum.
"Just in case. Kamu bisa menambahkan, mengurangi, serta merevisi aturan yang ada di sana, kok. Tentunya dengan kesepakatan kita berdua sebelum menandatanganinya di atas materai."
Baru kali ini Jesi mendapat calon partner seperti Adyan yang serba detail bahkan hanya untuk urusan kepuasaan hasrat seperti ini. Jika bukan karena pria itu tampan dan berbadan atletis, tak akan juga Jesi berjuang sampai sejauh ini. Ya tak disangkal juga bahwa dalam hubungan Friends With Benefit itu fisik jadi nomor satu karena tidak melibatkan perasaan.
Maka tak lama dari sana, Jesi dan Adyan berdiskusi serius sembari mencorat-coret lembar perjanjian itu layaknya sedang membicarakan bisnis. Usia yang hanya terpaut 3 tahun itu sekilas menjadikan hubungan mereka seperti pertemanan biasa, atau bahkan sepasang kekasih.
"Oke, deal,"Â kata keduanya menemukan titik sepakat.
***
Sebulan kemudian ketika masing-masing dari mereka telah menyerahkan hasil tes kesahatan yang baik, hubungan pertama Friends With Benefit itu dimulai di rumah minimalis Adyan. Malam hari pada akhir pekan, sembari menonton Netflix di ruang tengah yang redup, Jesi berbaring dan menyandarkan kepalanya pada paha Adyan yang sedang duduk.
Sejam pertama mereka masih fokus pada televisi itu, namun selanjutnya mata keduanya lah yang saling bertemu, dilanjutkan dengan kecupan Adyan pada bibir tipis Jesi. Gerak bibirnya pelan, panas, tapi seperti penuh perasaan. Maka sofa itu menjadi saksi bisu atas diri Adyan dan Jesi yang menyatu tanpa busana. Hanya memikirkan soal kepuasaan, tanpa memikirkan perasaan.
Yang disadari oleh Jesi di malam itu ternyata Adyan tak hanya sekadar memberinya kepuasan, tapi juga soal kenyamanan yang tak ditemukan sebelumnya pada pria lain. Entahlah, mungkin dia hanya terbawa suasana saja malam itu.
Selanjutnya di tempat berbeda seperti hotel atau apartemen di mana Jesi tinggal, keduanya melakukan aktivitas yang sama seperti kali pertama di rumah Adyan. Dengan desah napas tak teratur dan keringat yang menyatu, mereka selalu berhasil memberi kepuasan masing-masing bagi pasangan.
"Thank you, ya," ucap Adyan rutin saat permainan berakhir, yang kemudian membawa mereka pada mimpi lain dalam satu pelukan sama
Sampai hari itu, yang tak pernah diduga bagi Jesi dan Adyan, sesuatu terjadi mengguncang laki-laki itu. Albert, kakak sekaligus satu-satunya keluarga yang tersisa bagi Adyan kecelakaan hebat di jalan raya. Mengakibatkan kakaknya itu tewas ketika di bawa ke rumah sakit.
"Harusnya aku aja yang mati, Jes. Harusnya aku!" kata Adyan histeris di lorong rumah sakit mengingat kembali saat menerima telepon soal kecelakaan Albert.
Jesi membiarkan kepala Adyan terbenam di pelukannya untuk meluapkan semua emosi. Meski mungkin tak bisa sepenuhnya membantu, paling tidak cara inilah yang bisa dilakukannya.
Hari-hari sampai minggu-minggu selanjutnya jadi masa kelam bagi Adyan. Belum bisa masuk kerja sehingga mengharuskan WFH, itu pun masih asal-asalan. Nafsu makan menurun drastis hingga membuat tubuh atletisnya kini menjadi kurus. Matanya sayu dengan tanda hitam di bawahnya.
Nyaris setiap hari Jesi datang ke rumahnya untuk sekadar membawa makanan dan memeriksa kondisi Adyan. Awal-awal masih bisa diterima, tapi lama-lama Adyan justru jadi risih tanpa bisa mengntrol emosi.
"Hal-hal kayak gini itu nggak pernah ada di perjanjian kita!" kata Adyan membuang bekal yang perempuan berambut pendek itu bawa.Â
"Aku ke sini atas dasar teman, bukan soal FWB. Sampai sini paham?"
"Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Ngaku aja kalau kamu beneran sayang sama aku. Dan tahu sendiri kan bahwa satu aturan penting dari pilar perjanjian kita adalah nggak boleh menyimpan perasaan satu sama lain."
Terlihat ada amarah dari sorot mata Jesi. Ia melangkah cepat ke kamar Adyan, mengarah ke laci di dalamnya untuk mencari sesuatu. Ketemu, ini perjanjian mereka. Adyan menyusul di belakang menebak apa yang akan dilakukan perempuan itu.
"Perjanjian ini maksud kamu? This fuck*ng agreement? Anggap aja aku memang melanggar dan perlu membayar denda," katanya penuh emosi sambil merobek lembaran kertas itu di hadapan Adyan.
***
Ini bulan kelima jika keduanya masih terikat pada perjanjian itu. Berada di ranjang sama menghabiskan waktu semalaman, berpeluk manja, hingga tertawa bersama tanpa perlu terbawa perasaan.
Tapi kini, sejak kejadian di rumah Adyan itu, mereka jadi seperti orang asing. Semua sama-sama menjalani aktivitas masing-masing seakan tak mengenal satu sama lain. Jesi bahkan sampai memblokir kontak Adyan saking tak ingin kenal dengan laki-laki egois tak tahu terima kasih itu.
Lalu di kafe tempat mereka membuat perjanjian itu pertama kali, tanpa disangka keduanya kembali bertemu pada pertemuan canggung setelah sebulan tanpa kabar.Â
"That was a mistake. I'm the fool one. Harusnya aku memahami ketulusan kamu saat itu," kata Adyan yang kini badannya mulai berisi lagi. Ada penyesalan yang tulus dari sorot mata itu.
"Terus mau kamu apa?"
"Can we go back and press reset? Sejak Albert meninggal, aku sadar bahwa nggak bisa hidup sendirian seperti ini selamanya."
"Yang artinya...?" tanya Jesi sekali lagi pura-pura cuek."
"Kita... buat perjanjian baru. A new agreement."
"Maksud kamu a new friends with benefit agreement? Aku udah muak, Dan."
Gilanya, pada ponsel milik Adyan itu sudah ada perjanjian baru dalam format PDF yang telah disiapkan tanpa sepengetahuan Jesi. Dengan entengnya pun ia menjelaskan kembali bahwa perjanjian itu masih bisa diubah dalam kesepakatan bersama.
"Bukan gini caranya," Jesi menolak mentah-mentah tanpa perlu repot membaca pasal dan poin yang tak jelas itu.
Adyan paham atas sikap perempuan itu, maka ia mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya yaitu sebuah cincin yang disimpan dalam kotak kecil berwarna biru muda.
Dahi Jesi mengerut tak mengerti maksud semua ini, sampai Adyan memakaikan cincin itu di lingkar jari manis miliknya.
"This is enggament agreement, dan selanjutnya aku akan buat wedding agreement untuk perjanjian hidup kita."
Jesi speechless, belum mampu mengatakan apapun saat itu.
"Dan aku memutuskan untuk menjadikan kamu teman hidup hari ini, besok, dan selamanya, apapun jenis perjanjian itu. Gimana, deal?"
"Deal!" Jawab Jesi langsung memeluk pria itu sebagai tanda persetujuan.
A new agreement.
A new rules.
A new life.
***
Friends, With Benefit Agreement - Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H