I N K A
Ini pertama kalinya kami bertiga bisa berkumpul pada satu meja yang sama, yang mana pertama kalinya juga untuk Bara bertemu dengan Vano secara langsung. Semua berjalan canggung ketika Vano datang ke restoran bintang lima ini dengan pakaian rapinya. Ia sempat berjabat tangan dengan Bara, tapi sahabatku itu tidak memberikan respons baik dan hanya bicara seadanya.
Aku sudah bilang sebelumnya bahwa Bara harus bisa bersikap ramah ketika Vano datang, tapi nyatanya dia tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya yang jelas terlihat. Semoga saja Vano tak menyadari.
Menu steak dengan jenis daging berbeda menjadi hidangan utama malam ini. Kami menikmatinya tanpa perlu banyak bicara. Sampai ketika saus steak menetes ke kemeja gelap yang dikenakan Vano, dengan refleks aku mengambil tisu, lalu membersihkannya di bagian dada.
"Dunia serasa milik berdua, ya," kata Bara yang duduk di depanku seolah menyindir.
"Eh, sorry, sama sekali nggak ada maksud apa-apa," jawab Vano tak enak hati.
"Gimana Bandung? Ini pertama kalinya kamu ke sini, kan?"
"Bandung tempat yang asyik. Sejuk juga," sekali lagi Vano menjawab santai.
Memang kebetulan pekerjaannya lah yang membawa dia ke sini. Sementara itu Bara dan aku merupakan orang asli Bandung. Hanya saja aku merantau ke Jakarta sejak lulus kuliah, namun Bara tetap tinggal di sini bersama keluarganya.
Sejak awal Bara memang tak menyukai hubunganku dengan Vano. Ia sering kali memarahiku untuk segera menemukan pria yang lebih baik. Tapi aku tak bisa. Vano adalah orang spesial yang membuatku rela menjatuhkan hati. Tak ada yang seperti dia karena memang hanya dia satu-satunya.