Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tentang Malam yang Membenci Kilau Api (2/2)

27 Desember 2018   20:13 Diperbarui: 27 Desember 2018   20:57 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by jogjaspace.com

*Baca dulu part 1 nya di sini*

Ini hari ketujuh Rasel berada di Yogyakarta. Biasanya, dengan semangat ia akan mengajak Alvan, temannya yang sengaja ia ajak dari Bandung, untuk berkeliling kota ini. Tapi hari ini semangatnya seakan luntur. Sejak kejadian kemarin malam, ia tidak banyak bicara.

"Bro, jangan lesu gitu dong. Nanti malem kan kita mau tahun baruan di Malioboro." Alvan mencoba memberi semangat.

"Makasih."

Ini hari terakhir mereka berdua berada di Yogyakarta. Rasel sengaja ingin menghabiskan malam tahun baru di kota yang istimewa, bersama teman terdekatnya di kampus, dan tentunya dengan harapan melihat kembang api pergantian tahun bersama Clarisa.

Namun, ia juga tahu, Clarisa tidak akan pernah mau jika diajak untuk melihat pesta kembang api. Clarisa bukannya tidak suka melihat kilau kembang api yang menyala indah mewarnai pekatnya malam. Ia hanya tidak suka suaranya, suara ledakan yang berhasil melukai gendang telinganya hingga ia tak bisa lagi mendengar.

Sejak saat itu, Clarisa menghindari sesuatu yang berhubungan dengan kembang api. Ia mungkin masih bisa melihat warna-warni cahaya yang akan bertaburan pada perayaan malam tahun baru, namun ia tak akan mendengarnya. Ia akan sengaja melepaskan alat bantu pendengarannya dan hanya mengandalkan indera pengelihatannya, bukan indera pendengaran.

Rasel beranjak dari kursi, menginggalkan Alvan sendirian, lalu mencari Tantenya di seisi rumah untuk meminta pertolongan.

"Ada apa, Rasel?"

"Tante bisa tolong telepon Nek Rahmi? Tolong tanyain apa Clarisa ada di rumahnya atau enggak."

Tantenya tersenyum, wanita berusia 40 tahunan itu tahu betul apa yang diinginkan keponakannya itu. Dan tanpa menunggu waktu lama, informasi tentang Clarisa sudah berhasil diperolehnya.

***

Rasel melangkah keluar rumah untuk menemui Clarisa. Hanya perlu waktu tiga menit untuk berjalan kaki, maka ia akan sampai di rumah gadis itu yang sudah lama tinggal bersama neneknya.

Ia tak bisa melupakan bagaimana awal pertemuannya bersama Clarisa. Saat itu usianya baru 16. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saat akhir tahun tiba, Rasel akan datang ke rumah Tante Rosa di Yogyakarta dan berkumpul bersama keluarga besar untuk menyaksikan detik-detik pergantian tahun.

Ia datang menggunakan mobil pribadi dan duduk di bangku tengah dekat jendela. Laju mobil yang tidak terlalu kencang dapat membuatnya melihat secara jelas kompleks perumahan ini dengan seksama.

Lalu tanpa sengaja, matanya tertuju pada seorang gadis seusianya yang sedang berjalan membawa sebuah alat musik. Itu biola, dan Rasel sangat menyukai musik yang diciptakan oleh alat musik tersebut. Ia hanya menatap gadis itu untuk beberapa detik, tanpa ada perasaan khusus.

Keesokan harinya Rasel diajak oleh Tante Rosa berkunjung ke salah satu tetangganya. Dan saat itulah pertama kalinya ia mendengar alunan musik itu secara langsung yang dimainkan oleh Clarisa. Sejak itu, ada rasa kagum tumbuh di dalam hatinya.

Saat perayaan tahun baru tiba, Rasel begitu gembira bersama keluarganya. Mereka mengadakan pesta kecil di halaman depan rumah, membakar jagung, daging, meniup terompet serta menyalakan kembang api yang meledak-ledak di udara. Sungguh sempurna.

Malam itu juga, Rasel melihat Clarisa sedang berlari terburu-buru melewati rumahnya. Dan tanpa sadar, gadis itu menjatuhkan kotak kecil yang akhirnya tergeletak di aspal jalan. Rasel memungutnya, lalu melihat isi dari dalam kotak tersebut.

Headset? Tapi bentuknya sedikit aneh.

Rasel mencoba memanggil Clarisa dengan sebutan "Hei, Kamu", tapi gadis itu tidak mendengarnya, terus berlari meninggalkan Rasel yang masih kebingungan.

Sehari kemudian Rasel tahu dari Tantenya bahwa tetangganya itu ternyata mempunyai masalah dalam pendengaran dan harus mengunakan alat bantu yang dipasang pada telinganya. Rasel juga tahu, bahwa isi dari kotak kecil kemarin bukanlah sebuah headset.

Rasel menggelengkan kepalanya, ia mencoba menepis sejenak tentang kejadian tiga tahun yang lalu itu. Sekarang, ia sudah berdiri di pintu rumah Clarisa. Ia mengetuk pelan dengan debaran jantung yang tak tertahankan. Beberapa detik kemudian, seorang gadis berambut ekor kuda datang membukakan pintu, dengan alat bantu pendengaran yang terpasang halus di telinganya.

***

Clarisa menatap benda di meja itu dengan tatapan heran. Sebuah kamera SLR? Milik siapa? Ia menanyakan pada Neneknya yang sedang memasak di dapur tentang kamera tersebut. Dan Neneknya berkata bahwa itu milik Rasel, laki-laki yang singgah ke halaman belakang rumahnya saat kemarin malam.

Clarisa menatap sebal. Laki-laki itu lagi. Sebenarnya siapa dia? Kenapa Nenek bisa kenal?

Ia sengaja menghidupkan kamera SLR itu, lalu dengan iseng melihat gambar apa saja yang sudah menjadi objek pemotretan Rasel. Dan gambar terakhir yang terlihat jelas pada layar kamera adalah fotonya sendiri. Itu Clarisa yang sedang memainkan biola kemarin malam. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa. Ia semakin bingung dan tak mengerti.

TOK! TOK!

 Ada tamu. Clarisa berjalan ke arah depan, lalu membuka pintu tanpa melepaskan kamera SLR itu dari genggamannya. Dilihatnya Rasel sudah berdiri tegak di sana, hanya mengenakan kaos putih polos dengan pasangan celana jeans biru tua.

"Maaf ganggu, aku mau ambil kamera aku yang kemarin..."

Rasel membiarkan suaranya berhenti dan menggantung di udara. Ia mendadak bisu saat melihat kamera itu sudah berada di tangan Clarisa.

Clarisa pun tampak salah tingkah. Ia ingin bicara sesuatu, namun tak sanggup.

"Terima kasih." Rasel mengambil alih kamera miliknya, lalu berbalik arah untuk kembali ke rumah Tantenya.

Tunggu, Rasel!

Rasel menghentikan langkah, ia lupa harus mengatakan sesuatu kepada gadis ini.

"Oh iya, malem nanti aku tunggu kamu di Malioboro ya. Kalau mau, kita lihat pergantian tahun bareng-bareng. Kalau cuma aku berdua sama Alvan rasanya kurang seru. Kamu boleh ajak Yasmin nanti. See You."

Punggung Rasel akhirnya menghilang dari pandangan Clarisa.

Kamera itu, laki-laki itu. Apa mungkin dia adalah...

Ingatannya kembali tersapu oleh kenangan lama. Ia ingat dulu pernah ada seorang remaja yang diam-diam memotretnya saat sedang memainkan biola di halaman belakang. Saat ia menoleh ke arah kamera, laki-laki itu panik dan segera berlari dari hadapannya.

Apa mungkin Rasel adalah laki-laki itu?

***

Pukul sembilan malam. Suasana Jalan Malioboro sudah mulai dipadati oleh banyak individu, baik itu pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor, ataupun pedagang yang masih setia menemani wisatawan di trotoar jalan. Rasel dan Alvan pun demikian, mereka berdua ikut memenuhi jalan ini untuk bersama-sama merayakan malam pergantian tahun.

"Lo aneh, deh. Masa lo nyuruh Clarisa dateng ke sini buat nemenin kita, sementara suasana Malioboro udah dibanjiri sama manusia. Gimana cara lo nyari?"

Rasel hanya diam, membiarkan temannya itu terus bicara dan menasehatinya seperti anak kecil kehilangan balon berbentuk kotak. Ia tahu, mungkin permintaannya terasa konyol. Lain lagi ceritanya jika ia memberi tahu tempat pertemuan di tempat yang lebih spesifik.

Tapi, ternyata Clarisa memang ada di Malioboro juga, bahkan terlihat sekilas oleh mata Rasel.

"Itu Clarisa, Van!"

"Hah? Mana?"

Lagi-lagi Rasel tidak menghiraukan apa yang dikatakan Alvan. Ia berlari menembus kerumunan orang di jalan dengan perasaan yang tak menentu. Ia sangat yakin tadi ada Clarisa di depan matanya.

"Clarisa! Clarisa!" Tak hentinya ia memanggil nama itu, tapi gadis yang dicari seolah lenyap tanpa jejak.

 Apa mungkin Clarisa lagi nggak memakai alat bantu pendengarannya itu?

Rasel meraih ponsel yang ia simpan di saku jaketnya, mencari nama Alvan, lalu meneleponnya.

"Bro, lo mau tunggu di sana sendiri apa ikut gue?" Tanya Alvan dengan desah napas yang tak teratur.

"Hah? Maksudnya apa?"

"Gue mau nyusul Clarisa ke rumahnya."

"Tadi katanya lo lihat Clarisa di sini."

"Mungkin itu cuma perasaan gue aja. Gue yakin dia masih di rumah. Ya udah, lo dateng ke rumah Tante gue aja dulu. Nanti jam sebelas kita ke Malioboro bareng-bareng lagi."

"Gue nggak ngerti. Halo? Halo?"

Percakapan selesai.

***

Clarisa masih berdiam diri di halaman belakang bersama sahabatnya, Yasmin. Sejak lima tahun lalu, sejak ia kehilangan pendengarannya, ia selalu melewatkan malam tahun baru di sini, ditemani oleh sahabat yang tak hentinya selalu menemani dari tahun ke tahun tanpa memandang kekurangannya.

"Tiap tahun kita selalu aja gini." Yasmin membuka topik. "Melihat kembang api, bakar jagung, atau niup terompet."

Clarisa memberikan gerak isyarat. Untuk yang baru mengenalnya, mungkin tidak akan tahu apa maksud gerak itu. Tapi lain dengan Yasmin. Ia tahu bahwa Clarisa hanya bisa berkomunikasi dengan cara seperti ini.

Makasih ya udah mau jadi sahabat aku :)

Yasmin memeluk Clarisa erat. Ia tak bisa lagi menahan air mata yang akhirnya jatuh membasahi pipi.

"Sama-sama, Clarisa. Gue seneng bisa jadi sahabat lo."

Sekali lagi, Clarisa memberikan isyarat.

Cuma kamu yang tulus sayang sama aku. Aku beruntung bisa punya sahabat kayak kamu.

Air mata Yasmin semakin menjadi. Ia janji akan tetap setia menjadi sahabat Clarisa sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun. Ia tahu, persahabatan memang harus menutupi kekurangan sahabatnya.

"Clarisa!"

Suara itu mengganggu kedamaian keduanya. Itu Rasel, berdiri di belakang Clarisa dan Yasmin dengan napas yang tak teratur, dan dengan keringat yang membasahi pelipis.

"Kamu lagi? Apa sih mau kamu?" Yasmin bangkit, hendak mendekati Rasel, namun Clarisa menahannya.

Dia orang baik, Yas.

Yasmin melihat gerakan Clarisa barusan. Jika itu memang benar yang dikatakan Clarisa dari dalam hatinya, maka Yasmin tak bisa berbuat apa-apa. Ia menuruti apa yang diinginkan oleh sahabatnya itu.

"Kamu kenal dia?"

Iya. Dia temen aku. Kamu bisa tinggalin kita berdua di sini? Kamu nggak perlu khawatir, Yas.

Awalnya Yasmin ragu. Namun, setelah dibujuk oleh Clarisa, ia tak kuasa untuk menolak. Ia beranjak dari sana, meninggalkan Clarisa berdua dengan laki-laki bernama Rasel itu.

Kini, hanya tinggal mereka berdua. Clarisa dan Rasel. Tak ada yang mampu memulai percakapan, sampai akhirnya Yasmin menuliskan sesuatu di lembar buku yang dibawanya saat itu.

Kamu keponakannya Tante Rosa, ya?

Rasel mengangguk mantap.

Maaf, ya, waktu itu aku nggak inget sama kamu. Aku kira kamu orang jahat.

"Nggak apa-apa. Itu bukan masalah buat aku." Rasel menjawab seraya menyunggingkan senyum terbaiknya.

Kamu laki-laki yang dulu pernah motret aku, ya?

"Iya."

Mereka terus berbincang dengan cara seperti itu. Rasel berbicara, sedangkan Clarisa hanya mengajukan pertanyaan dan jawaban dengan menulis di lembaran kertas.

"Risa, ada sesuatu yang harus aku katakan sama kamu."

Tentang apa?

"Tentang perasaan aku. Sebenarnya, udah lama aku mengagumi kamu sebagai sosok perempuan tangguh yang mampu bertahan dengan segala kekurangan kamu."

Makasih :)

"Aku sayang sama kamu."

Jeda. Jantung keduanya sama-sama berdegup kencang.

Clarisa memandang tidak mengerti.

"Ya aku sayang sama kamu, Sa. Setiap tahun aku sengaja datang ke Yogya agar bisa ketemu kamu, mendengar alunan biola kamu, dan mengambil gambar kamu secara diam-diam. Aku tahu, ini memang nggak masuk akal."

Tapi, Rasel, kamu tahu kan kalau aku ini...

"Ya, aku tahu kamu memang ada masalah sama pendengaran dan cara bicara kamu. Aku tahu itu semua."

Tapi, kenapa kamu masih sayang aku?

"Aku sayang sama kamu karena aku ingin menjadi penutup kekurangan kamu. Mungkin kedengarannya aneh, tapi inilah aku, laki-laki yang menyimpan rasa kepada seorang gadis selama bertahun-tahun dan baru berani mengungkapkannya sekarang."

Sekali lagi makasih. Tapi, maaf, aku masih belum siap.

"Tenang aja, Sa. Aku nggak pernah memaksakan perasaan seseorang. Aku akan tunggu sampai tiba saatnya kamu siap. Setiap tahun aku akan datang ke sini untuk menanyakan jawabannya."

Rasel...

DUAR!!! Kembang api meledak dengan suara kencangnya meski jam belum menunjukkan pukul 12 malam. Clarisa nampak kaget, namun Rasel mencoba untuk menenangkan.

"Tenang, nggak selamanya kembang api itu menakutkan. Kalau gini terus, gimana caranya kamu bisa bangkit dari rasa takut?"

Rasel tidak salah. Bahkan, Clarisa sudah mendengar kata-kata itu dari Yasmin. Kali  ini, di malam pergantian tahun, ketakutan ini tidak akan ia biarkan terus menjalar di tubuh dan kehidupannya. Ia akan bangkit, membuka lembaran baru, dengan keberadaan orang-orang yang menyayanginya.

Ada Rasel, juga Yasmin.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun