Melihat kerumunan orang dari atas sini ternyata mengasyikan. Mereka terlihat kecil, seakan akulah yang paling berkuasa. Setelah lulus SMA aku memang pernah datang ke Dufan, namun tidak sempat menaiki wahana ini karena saat itu antriannya sangat panjang. Maka di kesempatan kedua datang ke tempat hiburan ini, wahana pertama yang harus aku naiki adalah Bianglala.
Sambil menikmati es-krim vanilla yang dibalut dengan coklat Belgia dan dihiasi oleh kacang almond, mataku masih dimanjakan dengan pemandangan di puncak Bianglala. Seluruh wahana di Dufan, bahkan mungkin keseluruhan kota Jakarta, begitu jelas di sini. Aku sampai tidak ingin turun dan berharap akan ada di puncak beberapa waktu lagi.
"Akhirnya rencana kita terlaksana juga ya untuk datang ke sini," kata laki-laki di sebelahku yang lebih memilih es-krim rasa green tea untuk dinikmati di siang terik seperti ini.
"Ya, begitulah. Sejak kamu kerja di bank yang waktu liburnya nggak tentu, ditambah dengan aku yang kerja di luar kota dan jarang pulang ke sini, membuat waktu ketemu kita nggak sesering saat kuliah dulu," jawabku yang langsung bertatapan dengannya ketika Bianglala ini mulai turun dari puncak.
"Itu artinya kita harus menghabiskan waktu seharian penuh, karena ini momen langka."
"That's the point."
Beberapa menit kemudian Bianglala turun. Aku dan dia meninggalkan wahana itu, kemudian langsung masuk ke antrian wahana selanjutnya, yaitu Histeria. Sebenarnya aku tidak begitu menyukai permainan yang memicu adrenalin ini. Maka, ketika ketinggian berada di puncaknya dan langsung turun dengan kecepatan yang tidak biasa, aku teriak dengan sangat kencang sebagai pelampiasan rasa takut.
"Rayaaaan!"
"Vioooo!" jawab laki-laki yang duduk di sebelahku.
Akhirnya setelah beberapa menit berada di ketinggian yang membuat jantung seakan hilang, aku beristirahat untuk menenangkan diri di salah satu kursi kosong di sana. Rayan memberiku air mineral yang barusan dibeli. Tanpa pikir panjang aku langsung menghabiskannya.
"NextHalilintar, kan?"