Di antara angin yang lupa arah, aku berdiri dengan tubuh setipis kabut, menunggu sesuatu yang tak punya nama. Di kejauhan, tebing-tebing hitam berbisik dalam bahasa yang tak kupahami.
Baca Juga: Mencari Makna di Dunia yang Berulang
Aku melihatmu dalam garis-garis air yang menggurat wajah batu: waktu mengalir pelan, seperti tangan yang enggan melepaskan. Kita dulu bunga yang mekar di musim panas, tapi sekarang, hanya bayangan yang menggantung di udara beku.
Baca Juga: Orang Pertama yang Bermimpi di Kota
Para malaikat bicara dalam suara yang lebih kecil dari butiran pasir. Mereka menyebut namamu di antara kelopak-kelopak samar yang berguguran di dunia bawah. Aku ingin menjawab, tapi angin telah menelan suaraku.
Baca Juga: Kota yang Menghapus Nama
Malam datang seperti pintu yang pelan-pelan tertutup. Aku tahu, esok pagi tebing itu tetap di sana, air tetap kelabu, dan kau tetap hanya gaung dalam dadaku yang sunyi.
Baca Juga: Anak Bulan di Kota Tua
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI