Di sudut kota yang bau tembakau basi,
di bawah lampu jalan yang redup seperti mata anjing tua,
seorang lelaki berdiri, kulitnya retak,
tangannya gemetar seperti daun gugur di angin gila.
Ia mengingat cahaya mentari:
tajam, menusuk, seperti pisau bedah yang membuka luka,
seperti mata bocah yang belum tahu makna dosa.
Malam turun seperti selimut gelap di gang belakang,
bulan naik di atas atap seng berkarat,
di antara kabel listrik yang menjuntai seperti urat leher,
di atas jalanan becek yang menyimpan pantulan lampu reklame.
Angin berbisik cerita kuno:
tentang harapan yang bisa ditelan,
tentang bayi yang bisa jadi jimat keselamatan.
Baca Juga:Â Tukang Cukur Kenangan
Ia berjalan, langkahnya menyeret bayangan panjang,
seperti doa yang tak pernah sampai ke langit.
Di trotoar, suara klakson dan musik elektronik
bercampur dengan suara perutnya yang kosong.
Dunia ini tak punya obat untuknya:
tak ada dokter, tak ada doa, hanya mitos yang bertahan lebih lama dari cinta.
Dibungkus malam, ia lakukan dosa:
bukan karena benci, bukan karena ingin,
tapi karena harapan terasa lebih nyata dalam darah hangat
daripada dalam janji yang sudah lama basi.
Baca Juga: Kartu Pos dari Jakarta
Kemudian jerit itu keluar dari dadanya,
merah, berdenyut, pecah seperti bunga di aspal basah,
menggema di gang, di jalan, di jendela apartemen
di mana orang-orang menutup telinga,
menutup hati,
menutup tirai,
karena lebih mudah membiarkan dosa larut dilumat gelap.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI