Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tukang Cukur Kenangan

25 Januari 2025   15:11 Diperbarui: 25 Januari 2025   15:11 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Rambut Pirang. Sumber: Pexels.com/RDNE Stock Project

Pagi tadi seseorang menyalakan lampu di ruangan kosong,
matahari lemah, wajah pucat yang lupa namanya sendiri.
Aku rebahan, selimut kusut seperti peta perjalanan yang tak pernah selesai.
Jendela tinggi itu berdiri:
sebuah bingkai panjang,
seperti pintu hantu atau panggung teater murahan.

Di sana aku melihat tukang cukur ini,
dengan apron penuh bekas potongan mimpi.
Dia menatapku, pisau cukurnya berkilau seperti garis waktu,
mengiris udara dengan pertanyaan yang tak pernah kutanya:
Sudahkah kau bersihkan luka ayahmu hari ini?

Tapi aku hanya diam,
mengunyah pagi seperti permen karet basi.
Cahaya menembus tirai tipis,
mengalir seperti ceramah panjang
dari seorang dosen yang suka mendengar suaranya sendiri.

Baca Juga: Kartu Pos dari Jakarta

Hari ini adalah Sabtu yang malas,
buku catatan di kepala penuh coretan,
kursi kayu kehidupanku miring,
seperti perahu kecil di laut yang tak tahu arah.
Aku seorang siswa di universitas dunia,
di mana kelasnya adalah jalan-jalan sempit
dan langit-langitnya adalah beton berat yang menekan napas.

Tukang cukur ini mulai bicara lagi,
tapi suaranya seperti radio yang kehilangan sinyal.
Dia bilang, "Setiap pagi adalah panggung pertama
dan setiap malam adalah tirai yang ditutup tanpa tepuk tangan."
Aku melihat pisau cukurnya bergetar,
seperti jarum jam yang ragu untuk maju.

Baca Juga: Kumang

Aku ingin bertanya:
"Kenapa kau datang ke sini,
di pagi yang bahkan tak tahu bagaimana bersinar?"
Tapi aku tahu jawabannya:
karena kita semua duduk di kursi ini,
menunggu giliran.
Kenangan dicukur,
bekas luka dibersihkan,
dan hidup terus memutar kumparan filmnya,
reel demi reel,
meski proyektornya berdebu.

Jadi aku tetap diam,
membiarkan Sabtu ini mengajariku
dengan bahasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka
yang bersedia mendengarkan,
dan tukang cukur ini tersenyum:
guntingnya melesat,
dan aku membiarkan segala yang lama
jatuh ke lantai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun