Dari Last Night on Earth
Di bawah lampu jalan yang remang,
aku tulis kartu pos di warung kopi emperan,
pakai pena murah dari abang kaki lima.
Kata-kata mengalir seperti hujan malam di Sudirman,
Apakah sampai padamu?
Aku kirim cinta lewat barisan kalimat seadanya,
tapi Jakarta, ah, Jakarta:
menelan segalanya seperti banjir di Manggarai.
Kau, cahaya bulan di atas Monas,
yang kupandangi sambil menunggu bus malam
di halte penuh debu dan dengusan pedagang.
Aku beri segalanya,
dari jantung yang berdebar di jalan rusak,
hingga langkah-langkah kusam di trotoar licin.
Aku cari dirimu di gang sempit,
di pasar yang menjual mimpi dan kekecewaan.
Apakah kau tahu?
Aku berjalan sejauh senja di Glodok,
melewati kota tua yang penuh bayang-bayang.
Baca Juga:Â Kumang
Andai semua ini terbakar,
seperti kios liar di Tanah Abang,
akankah kau tetap mendengar suaraku?
Aku kirimkan napas terakhirku,
dalam hiruk-pikuk jalan protokol,
dalam denting gelas kopi di warkop pinggir rel.
Jangan ragu, jangan tanya:
Aku tetap milikmu,
seperti Jakarta milik kemacetan dan polusi,
seperti delman tua milik nostalgia.
Baca Juga:Â Diamnya Pohon-Pohon
Aku berjalan jauh,
melewati jembatan tua yang berkarat,
melewati peluit kereta yang memanggil malam.
Aku temukan dirimu di bayang-bayang halte busway.
Aku di sini,
meski segalanya hilang dalam api,
seperti kenangan yang terkikis di bawah neon.
Apakah aku pernah benar-benar sampai?
Atau hanya jadi cerita yang terbakar
di sudut jalan tak bernama?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI