Malam menjalar ke gang-gang sempit,
asap rokok mengepul di dada beton,
kata-kata berjatuhan seperti hujan yang lupa cara menyentuh tanah.
Aku berjalan di antara mereka,
orang-orang dengan mulut penuh aksara
tapi tak satu pun membentuk bahasa.
Di bawah lampu neon redup redam,
aku mencari jejak burung di antara bayang-bayang,
jejak yang tak terucap,
tanpa tanda baca, tanpa huruf kapital,
hanya garis-garis samar hujan yang menutupi jalan
: dingin yang menyimpan ribuan rahasia.
Baca Juga:Â Pulang di Januari
Mereka yang liar tak membutuhkan diksi,
mereka menggonggong pada bulan,
menulis puisi di udara dengan helaan napas
yang hanya dipahami angin dan akar-akar tua.
Aku tersesat di halaman-halaman kosong,
kertas putih yang menggema lebih nyaring
daripada puisi yang terjebak di bibir kita.
Aku menggali keheningan,
menemukan bahasa yang lebih purba dari alfabet,
lebih jujur dari tinta.
Baca Juga:Â Kota yang Berderak
Di sudut kota, seorang pengamen membisikkan lagu
yang tak pernah direkam,
seorang gelandangan membacakan sajak yang tak pernah ditulis,
yang lain melangkah,
menuju hujan, menembus cerita,
menuju bahasa tanpa kata-kata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI