Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tulang Retak

31 Desember 2024   09:51 Diperbarui: 31 Desember 2024   09:57 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Lalu Lintas dan Bangunan Tua. Sumber: Pexels.com/El Jusuf

Di bawah jembatan layang,
lampu jalan memantulkan kilau yang lelah.
Anak-anak jalanan tertawa kecil,
menghitung receh seperti mimpi yang tak cukup besar.

Langit Jakarta mengunyah kata-kata,
menelannya bersama polusi.
Seseorang berdiri di halte, menunggu bus yang tak pernah datang,
seolah berharap cuaca akan memahami keputusasaannya.

Proses ini seperti macet Senin pagi:
panjang, melelahkan, penuh klakson dan umpatan.
Tapi apa lagi yang bisa kita lakukan
selain menunggu semuanya berjalan, entah kapan.

Di stasiun, tulang-tulang retak dalam antrean panjang.
Wajah-wajah letih mengunyah harapan yang basi.
Kereta tiba, pintu terbuka,
dan kita terhimpit dalam kotak besi yang sama.

Aku melihat neon berkedip,
seperti pesan rahasia dari neraka kecil di tepi jalan.
Warung kopi tua menjual lebih banyak cerita daripada kopi,
tapi tetap saja, kita menyesapnya perlahan.

Langit malam meminjam suara klakson,
mengembalikannya dalam bentuk hujan deras.
Aku berjalan tanpa payung,
membiarkan basah menelan semua keluhan kecil.

Di toko buku bekas,
seorang pria tua membaca koran dengan sudut yang salah.
"Pemilu tak mengubah apa-apa," gumamnya,
sementara jari-jarinya yang rapuh mengelus halaman yang usang.

Lampu merah mengubah semua menjadi patung.
Mobil-mobil berhenti, motor-motor berdesakan.
Aku melihat seorang pengamen muda
bermain gitar dengan senar yang hampir putus.

Di gang sempit, graffiti berbicara lebih keras
daripada berita malam di televisi.
Kata-kata itu seperti perlawanan kecil,
seperti bunga liar yang tumbuh di celah beton.

Jakarta berjalan dengan kaki yang berat,
menghantamkan aspal pada mimpi-mimpi kecil kita.
Tapi kita terus melangkah,
karena di ujung jalan, mungkin, hanya mungkin,
ada matahari terbit yang tak kita duga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun