Di bawah jembatan layang,
lampu jalan memantulkan kilau yang lelah.
Anak-anak jalanan tertawa kecil,
menghitung receh seperti mimpi yang tak cukup besar.
Langit Jakarta mengunyah kata-kata,
menelannya bersama polusi.
Seseorang berdiri di halte, menunggu bus yang tak pernah datang,
seolah berharap cuaca akan memahami keputusasaannya.
Proses ini seperti macet Senin pagi:
panjang, melelahkan, penuh klakson dan umpatan.
Tapi apa lagi yang bisa kita lakukan
selain menunggu semuanya berjalan, entah kapan.
Di stasiun, tulang-tulang retak dalam antrean panjang.
Wajah-wajah letih mengunyah harapan yang basi.
Kereta tiba, pintu terbuka,
dan kita terhimpit dalam kotak besi yang sama.
Aku melihat neon berkedip,
seperti pesan rahasia dari neraka kecil di tepi jalan.
Warung kopi tua menjual lebih banyak cerita daripada kopi,
tapi tetap saja, kita menyesapnya perlahan.
Langit malam meminjam suara klakson,
mengembalikannya dalam bentuk hujan deras.
Aku berjalan tanpa payung,
membiarkan basah menelan semua keluhan kecil.
Di toko buku bekas,
seorang pria tua membaca koran dengan sudut yang salah.
"Pemilu tak mengubah apa-apa," gumamnya,
sementara jari-jarinya yang rapuh mengelus halaman yang usang.
Lampu merah mengubah semua menjadi patung.
Mobil-mobil berhenti, motor-motor berdesakan.
Aku melihat seorang pengamen muda
bermain gitar dengan senar yang hampir putus.
Di gang sempit, graffiti berbicara lebih keras
daripada berita malam di televisi.
Kata-kata itu seperti perlawanan kecil,
seperti bunga liar yang tumbuh di celah beton.
Jakarta berjalan dengan kaki yang berat,
menghantamkan aspal pada mimpi-mimpi kecil kita.
Tapi kita terus melangkah,
karena di ujung jalan, mungkin, hanya mungkin,
ada matahari terbit yang tak kita duga.