Seseorang bertanya,
di mana cahaya yang dulu tinggi di bukit itu?
Bola kuning, bersandar di tiang-tiang kota,
pecah oleh tangan yang asing,
dikubur di dalam tanah yang tak pernah berbicara.
Dan kau, di tepi pantai,
jari-jari menyusuri papan ketik tua,
mencari huruf yang hilang,
sementara angin mencuri daun dan burung,
membawa mereka ke tempat yang tak kita kenal.
Saatnya kembali, kata suara lain,
ke ruang biru yang menggantung kosong.
Tetesan cahaya melayang,
mengikuti matahari yang lelah beranjak.
Langit itu dulu berbicara,
tapi kini hanya sunyi yang bergema.
Adakah jalan untuk menyusuri jejaknya?
Mungkin terang itu,
masih menyimpan jawabannya.
Aku percaya, ada denyut di dalam kematian,
seperti arus di bawah permukaan laut.
Momen ini akan datang lagi,
saat biru itu kembali memberi warna,
dan laut bernyanyi dalam gelombang.
Cahaya kuning akan menyala,
di bukit itu,
seperti mercusuar yang merawat hati yang patah,
kali ini, tanpa amarah.
Di atas bukit,
cahaya itu akan kembali terangkat.
Ia bersinar untuk mereka yang terluka,
mereka yang tenggelam di tengah kota yang bising.
Bajingan, bajak laut, tak akan menang selamanya.
Ada cahaya di balik tanah,
ada tangan-tangan yang menggali,
dan ketika cahaya itu muncul lagi,
kita semua akan tahu:
martabat masih punya tempat di dunia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H