1
Di stasiun tua, jam besar diam,
membisu seperti becak di pojok gang.
Orang-orang terus berlalu, menenteng tas plastik,
dengan langkah secepat hujan pertama sore hari.
Ibu di bangku panjang mengurai rambutnya,
hitam seperti malam tanpa lampu jalan.
2
Ayah duduk di halte tua,
menyusuri waktu dengan tatapan kosong.
Asap angkringan mengepul, menutupi wajahnya,
seperti kabut asap di puncak Monas.
Di dalam tubuhnya, waktu menggenang
seperti sungai yang perlahan penuh oleh limbah.
Baca Juga: Kilat di Atas Jakarta
Baca Juga: Kedipan di Ujung Jalan
3
Seorang petugas datang membawa tangga,
kunci di tangannya seperti rahasia yang tak terbagi.
Ia membuka wajah jam,
di baliknya hanya bayangan lampu neon berkerlip.
Dari sana, dunia terlihat seperti simpang jalan,
orang-orang menyeberang tanpa tahu kapan berhenti.
4
Kereta datang, membawa mereka
yang mencari sesuatu: tempat, nama, atau kenangan.
Di peron, suara pengumuman terdengar lirih,
seperti doa seorang ibu yang kehilangan anaknya.
Ada yang pulang dengan mata basah,
ada yang pergi membawa kata-kata yang tertinggal.
5
Rambut ibu terus tumbuh, menutupi bahunya,
seperti akar pohon mencari tanah di trotoar.
Mata ayah penuh, tumpah ke dalam milikku,
seperti air genangan di musim hujan Jakarta.
Di bawah jam besar yang tetap diam,
waktu bergulir tanpa meminta izin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H