Waktu merangkak pelan, menjejak langkahku,
seperti mikrolet yang terus menembus perbatasan.
Kondektur menyeka kursi dengan selebaran kampanye
yang dibuang entah siapa.
Hujan menghantam jendela seperti kepingan kerikil,
sementara jendela lain tetap bersih,
seperti rahasia yang sengaja disembunyikan oleh kota.
Di bawah jembatan layang, anak-anak kecil menghirup uap lem dari kantong keresek, terkapar di sudut trotoar, mata mereka kosong seperti lampu jalan yang mati. Aku berdiri di halte yang selalu basah, melihat hujan jatuh seperti janji yang diulang-ulang. Tak ada yang menjemput, tak ada yang peduli.
Malam membawa mimpi tentang masa lalu,
abad-abad berlalu di jalanan Braga,
satu dengan janggut lebat,
satu lagi bercukur di pinggir jalan Cikapundung,
dan yang terakhir berlari panik
di antara keduanya, tanpa arah.
Di kota ini, warung kopi dan papan iklan
menawarkan hidup yang tak pernah kumiliki.
Pakaian dalam putih melayang-layang di balkon kosan sempit,
sementara di rumah, jemuran sudah lama tak terpasang.
Ibu-ibu di gang kecil,
mereka sudah lelah meminta.
Di meja kamar sempit,
ada buku tebal yang tak pernah dibuka
dan kunci kamar mandi bersama,
di sebelah tali jemuran yang menggantung tanpa harapan.
Mungkin nanti, aku akan menjadi tukang pos di sini: mengantar surat dari kuburan ke kuburan. Membaca pesan dari orang mati untuk mereka yang tak akan menjawab. Anak-anak muda berseragam hitam akan menemukanku di gang gelap, dan setelah itu, aku akan hilang, seperti bunyi klakson yang ditelan malam, tak ada yang ingat aku pernah berjalan di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H