Menuju petang, seekor anjing muncul di bayang lampu jalan. Mengawasi kami, seperti mitos yang hidup dari tanah. Mata kami saling bertaut. Ada doa yang tak sampai ke langit gelap. Seperti cerita lama, yang digiring angin pada bambu yang patah. Kau tahu, di sini wangsit sering datang lewat luka.
Elang kecil melesat di atas sawah yang basah. Sayapnya pisau tajam memotong udara. Di mana anjing hutan itu sekarang? Mungkin suaranya tenggelam dalam gemuruh mesin. Seperti bayangan masa lalu di kepala orang tua.
Ikan-ikan berenang di sungai yang nyaris lupa pada hujan. Melintasi jaring yang tak pernah kosong dari rasa lapar. Di arus yang mengerut, mereka pulang ke asal. Seperti lagu kecil yang dilupakan di kampung-kampung. Cahaya sore mencatat perjalanan mereka.
Ilalang bergoyang membentuk puisi di tanah merah. Bisikan hujan terangkut di pohon jati tua. Awan bergumul membawa cerita laut ke sawah-sawah. Tapi sungai kering hanya mengantuk. Malas mendengar. Ada yang menyebut ini musim. Ada yang percaya ini takdir.
Berang-berang menyelam, meninggalkan jejak lembut di air. Bulu mereka seperti beludru malam yang menyimpan rahasia. Suatu hari, mereka akan dijahit dalam mimpi oleh seorang penenun yang mencintai laut. Di bawah bulan tembaga, kita akan mengenang tarian mereka, di atas tanah yang sudah berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H