Ada sesuatu yang menarik dari kata-kata yang tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi puisi tetapi, pada akhirnya, menemukan jalannya ke sana.
Mereka muncul dari memo harian, catatan belanja, kliping koran, bahkan obrolan di warung kopi yang kita dengar sekilas.
Found poetry---puisi yang "ditemukan"---adalah seni melihat keindahan dalam yang biasa-biasa saja, seni memungut serpihan realitas dan menjahitnya kembali menjadi sesuatu yang baru.
Mungkin, lebih dari jenis seni lainnya, found poetry merangkum cara kita hidup: serangkaian potongan yang tidak sempurna, membentuk mosaik makna.Â
Seperti memandang sebuah lukisan kubisme, kita harus menyesuaikan sudut pandang, membiarkan ketidaksempurnaan bekerja dalam pikiran kita.
Dalam dunia yang berisik dan acak ini, ada kebebasan yang datang dari mengklaim kembali kata-kata yang bukan milik kita, tetapi kini terasa seperti suara batin yang akhirnya menemukan keberanian untuk berbicara.
Memahami Found Poetry
Found poetry adalah praktik literer yang mengangkat teks yang sudah ada: prosa, dokumen, bahkan iklan dan menyusunnya kembali menjadi puisi.
Ada metode dalam kekacauan ini. Beberapa penyair memilih untuk memotong langsung dari teks asli tanpa mengubah apa pun, hanya menata ulang dengan spasi baru untuk menciptakan ritme dan aliran.
Yang lain lebih agresif, menghapus, mencoret, atau menambahkan sedikit sentuhan kreatif untuk memberikan narasi yang sama sekali berbeda.
Contoh klasik found poetry bisa dilihat dalam puisi erasure (penghapusan), di mana penyair menyaring teks menjadi inti puisi dengan secara fisik mencoret kata-kata yang tidak relevan.
Seperti pelukis yang dengan hati-hati menghapus bagian kanvas, puisi ini muncul dari ketidakhadiran, dari penghilangan.
Kemudian ada "cut-up poetry," sebuah teknik yang dipopulerkan oleh William S. Burroughs, seorang penulis yang sering menyeberangi batas antara prosa dan puisi. Burroughs memotong-motong teks yang ada, menyusunnya kembali secara acak, dan, dari sana, menemukan makna baru.
Para Penjaga Seni yang Terlupakan
Tentu saja, found poetry bukanlah konsep baru. Gerakan Dadais di awal abad ke-20, dipimpin oleh Tristan Tzara, sudah melakukan eksperimen dengan teknik ini.
Tzara terkenal dengan metode memotong kata-kata dari artikel koran, melemparkannya ke dalam topi, dan mengocoknya untuk kemudian ditarik satu per satu.
Hasilnya adalah puisi yang tidak hanya mempersoalkan makna tetapi juga menghancurkan ekspektasi tradisional terhadap puisi.
Beberapa dekade kemudian, penyair Amerika seperti Charles Reznikoff dan John Cage membawa found poetry ke ranah seni konseptual.
Reznikoff, misalnya, mengubah dokumen sejarah menjadi puisi naratif, menciptakan keintiman dari sesuatu yang terasa dingin dan resmi.
Puisi-puisinya yang diambil dari transkrip pengadilan adalah studi tentang bagaimana fakta-fakta keras bisa berubah menjadi sesuatu yang lirih ketika dilihat dengan mata seorang penyair.
John Cage, di sisi lain, terkenal dengan eksplorasinya terhadap kebetulan. Ia percaya bahwa seni bisa muncul dari setiap sudut kehidupan sehari-hari, asalkan kita mau membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan itu.
Dalam found poetry, kebetulan menjadi alat kreatif. Pilihan kata bukan hanya soal estetika, tetapi juga hasil dari keterbukaan terhadap dunia.
Puisi di Sekitar Kita
Kita sering berpikir puisi adalah sesuatu yang harus kita ciptakan; sebuah pencapaian artistik.
Tetapi found poetry membalik paradigma ini. Ia berkata, "Tidak, puisi sudah ada di sekitar kita. Tugas kita hanyalah menemukannya."
Bayangkan ini: sebuah tiket kereta yang terlipat di saku jaket lama kita. Di sana ada coretan kecil, mungkin daftar belanja yang tidak pernah selesai. Kita melihatnya dan menyadari bahwa kata-kata itu, dalam susunannya yang sederhana, berbicara tentang kerinduan, tentang perjalanan yang tak pernah selesai. Atau mungkin kita membaca obituari di surat kabar dan merasa seperti sedang membaca elegi yang ditulis dengan cinta.
Karya-karya seperti ini tidak perlu rumit.
Salah satu contoh indah ditemukan dalam eksperimen Austin Kleon, yang menciptakan "newspaper blackout poetry", mengubah halaman koran dengan menutupi sebagian besar teks menggunakan spidol hitam, menyisakan kata-kata tertentu yang kemudian membentuk puisi.
Karya Kleon mengingatkan kita bahwa, di tengah kebisingan dunia modern, masih ada ruang untuk refleksi dan keheningan.
Seni Melihat
Namun, found poetry bukan hanya soal memungut kata-kata; ia adalah praktik melihat. Dunia ini penuh dengan keajaiban kecil yang sering kita abaikan.Â
Sebuah tanda jalan dengan pesan ambigu, menu di rumah makan tua, percakapan setengah terdengar. Semuanya bisa menjadi bahan dasar puisi.
Saya pernah membaca sebuah kutipan dari penyair Inggris, Alice Oswald, yang berkata bahwa menulis puisi adalah "sebuah tindakan mendengar."
Found poetry adalah ekstensi dari itu: mendengar dengan "mata" kita. Ini adalah seni memperhatikan dan membiarkan momen-momen kecil menemukan kita.
Di dunia yang terus bergerak terlalu cepat, found poetry menawarkan momen untuk berhenti. Kita tidak perlu menunggu inspirasi agung atau suasana hati yang tepat.
Kita hanya perlu melongok ke luar jendela, membuka majalah lama, atau mendengarkan percakapan orang asing. Setiap kata, setiap frasa adalah potensi.
Ketika kita mulai melihat dunia dengan cara ini, kita akan menyadari bahwa puisi tidak pernah jauh. Ia bersembunyi di antara baris teks yang terabaikan, dalam jeda napas, di balik tanda-tanda kebetulan yang aneh.
Found poetry, pada akhirnya, adalah seni menyadari bahwa keindahan selalu ada: hanya butuh sedikit keberanian untuk mengakuinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H