Tetapi found poetry membalik paradigma ini. Ia berkata, "Tidak, puisi sudah ada di sekitar kita. Tugas kita hanyalah menemukannya."
Bayangkan ini: sebuah tiket kereta yang terlipat di saku jaket lama kita. Di sana ada coretan kecil, mungkin daftar belanja yang tidak pernah selesai. Kita melihatnya dan menyadari bahwa kata-kata itu, dalam susunannya yang sederhana, berbicara tentang kerinduan, tentang perjalanan yang tak pernah selesai. Atau mungkin kita membaca obituari di surat kabar dan merasa seperti sedang membaca elegi yang ditulis dengan cinta.
Karya-karya seperti ini tidak perlu rumit.
Salah satu contoh indah ditemukan dalam eksperimen Austin Kleon, yang menciptakan "newspaper blackout poetry", mengubah halaman koran dengan menutupi sebagian besar teks menggunakan spidol hitam, menyisakan kata-kata tertentu yang kemudian membentuk puisi.
Karya Kleon mengingatkan kita bahwa, di tengah kebisingan dunia modern, masih ada ruang untuk refleksi dan keheningan.
Seni Melihat
Namun, found poetry bukan hanya soal memungut kata-kata; ia adalah praktik melihat. Dunia ini penuh dengan keajaiban kecil yang sering kita abaikan.Â
Sebuah tanda jalan dengan pesan ambigu, menu di rumah makan tua, percakapan setengah terdengar. Semuanya bisa menjadi bahan dasar puisi.
Saya pernah membaca sebuah kutipan dari penyair Inggris, Alice Oswald, yang berkata bahwa menulis puisi adalah "sebuah tindakan mendengar."
Found poetry adalah ekstensi dari itu: mendengar dengan "mata" kita. Ini adalah seni memperhatikan dan membiarkan momen-momen kecil menemukan kita.
Di dunia yang terus bergerak terlalu cepat, found poetry menawarkan momen untuk berhenti. Kita tidak perlu menunggu inspirasi agung atau suasana hati yang tepat.
Kita hanya perlu melongok ke luar jendela, membuka majalah lama, atau mendengarkan percakapan orang asing. Setiap kata, setiap frasa adalah potensi.