Seperti pelukis yang dengan hati-hati menghapus bagian kanvas, puisi ini muncul dari ketidakhadiran, dari penghilangan.
Kemudian ada "cut-up poetry," sebuah teknik yang dipopulerkan oleh William S. Burroughs, seorang penulis yang sering menyeberangi batas antara prosa dan puisi. Burroughs memotong-motong teks yang ada, menyusunnya kembali secara acak, dan, dari sana, menemukan makna baru.
Para Penjaga Seni yang Terlupakan
Tentu saja, found poetry bukanlah konsep baru. Gerakan Dadais di awal abad ke-20, dipimpin oleh Tristan Tzara, sudah melakukan eksperimen dengan teknik ini.
Tzara terkenal dengan metode memotong kata-kata dari artikel koran, melemparkannya ke dalam topi, dan mengocoknya untuk kemudian ditarik satu per satu.
Hasilnya adalah puisi yang tidak hanya mempersoalkan makna tetapi juga menghancurkan ekspektasi tradisional terhadap puisi.
Beberapa dekade kemudian, penyair Amerika seperti Charles Reznikoff dan John Cage membawa found poetry ke ranah seni konseptual.
Reznikoff, misalnya, mengubah dokumen sejarah menjadi puisi naratif, menciptakan keintiman dari sesuatu yang terasa dingin dan resmi.
Puisi-puisinya yang diambil dari transkrip pengadilan adalah studi tentang bagaimana fakta-fakta keras bisa berubah menjadi sesuatu yang lirih ketika dilihat dengan mata seorang penyair.
John Cage, di sisi lain, terkenal dengan eksplorasinya terhadap kebetulan. Ia percaya bahwa seni bisa muncul dari setiap sudut kehidupan sehari-hari, asalkan kita mau membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan itu.
Dalam found poetry, kebetulan menjadi alat kreatif. Pilihan kata bukan hanya soal estetika, tetapi juga hasil dari keterbukaan terhadap dunia.
Puisi di Sekitar Kita
Kita sering berpikir puisi adalah sesuatu yang harus kita ciptakan; sebuah pencapaian artistik.