Setelah hujan reda, aku melihat bunga liar; kelopak kuning yang tumbuh dari lumpur beku, mengingatkan bahwa hidup memaksa, bahkan di tanah keras.
Sisa air menjadi sungai kecil di halaman, membawa cerita musim panas, juga pertanyaan tentang keluarga, tentang rahasia yang tak pernah diberi nama.
Tetanggaku menjaga rumputnya rapi, seperti kertas kosong, bersih dari kehidupan liar. Di halaman mereka, lebah kelaparan, kupu-kupu tersesat.
Aku membiarkan bunga liar tumbuh di pinggir jalan, mencoba menjadi tempat aman bagi yang terusir, bagi yang tak diperhitungkan.
Ayam jantan di atap gudang adalah penjaga waktu dengan seruan tak pernah berubah: "Mulai!" atau "Hati-hati!" Tapi siapa yang mendengar? Suaranya hanya gema di kerajaan kecil yang ia kira miliknya sendiri.
Aku membiarkan dia bernyanyi, karena ada kebebasan dalam suara yang tak peduli pendengar.
Aku adalah pelanggar aturan tak tertulis: padang liar yang tak dipotong, resep yang disegel di kantong cokelat, dan cinta yang membakar seperti api unggun di tengah kota yang dingin. Di sini, menjadi diri sendiri adalah tanda bahaya.
Di peta, garis-garis batas itu samar, tapi di jalan, mereka tajam seperti pisau. Aku menyusuri utara, mencoba menjawab satu pertanyaan:
Bagaimana aku bertahan tanpa menghilang? Bunga liar tumbuh di sela beton, dan aku bertanya apakah itu cukup untuk disebut hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H