Di ladang yang tak punya ujung, aku melihat hijau yang menelan matahari. Seolah bumi lupa caranya memeluk malam. Rambutku menjulur seperti akar yang salah arah, mencari cahaya di tengah bayang-bayang.
Semua tumbuh di sini: daun, luka, dan aku, tersesat di antara keduanya.
Aku merangkak di atas tanah yang kasar. Setiap jari menahan beban yang tak pernah kuberi nama. Lalu, angin asin menyentuh leherku, mengingatkanku akan laut: biru yang tahu cara membungkam hijau.
Ada akhirnya, bisiknya. Tapi tidak untuk kesedihan.
Di tengah ladang, aku dengar suara leluhur. Mendekat seperti detak jantung di balik tanah. Pulanglah, katanya. Tapi ke mana jika semua peta sudah basah oleh air mata yang tak lagi kurasa? Ladang ini, pikirku, mungkin rumah. Atau mungkin hanya tempat aku singgah.
Kesedihan tumbuh seperti rumput liar. Merayap di sela-sela batu yang kupegang erat. Tapi luka pun tahu caranya sembuh. Meski terlambat. Meski tak sempurna. Hijau akan memudar menjadi kulit.
Dan aku akan berdiri lagi. Meski tertatih. Meski berkali-kali jatuh.
Musim panas ini, aku belajar mencintai semua yang tak bisa kupeluk: hijau yang terlalu liar, biru yang terlalu luas. Biarkan aku hidup tanpa peta, tanpa pagar, tanpa takut. Aku akan tumbuh. Bukan untuk menang. Tapi untuk mencoba lagi: lagi dan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H