Di bawah naungan pohon itu, aku berdiri tanpa alasan yang jelas. Langit seperti halaman kosong, awan-awan menggariskan sajak mereka sendiri, dan aku hanya menyanyikan suara yang lupa pada makna. Kebahagiaan, katanya, tersembunyi di sela-sela: meja makan, pistol yang belum ditembakkan, atau mungkin doa yang tertahan di tenggorokan.
Di bayang Maret yang lembut tapi gelisah, aku menonton diriku sendiri berlarian tanpa arah, kerinduan yang seperti anak anjing mencari tuannya. Aku telah mencintai tanpa memahami, telah berjalan terlalu jauh dari ladang sederhana di mana batu dan langit pernah menjadi teman. Kubur kecil menanti, diam dan sederhana, sementara malaikat melambaikan tangan dari jauh. Â
"Siapa aku?" tanyaku di jalan setapak yang memutar. Ini bukan tanah yang kutahu, tapi juga tidak sepenuhnya asing. Dinding-dindingnya berbicara dalam bahasa yang samar, seperti kenangan yang lupa bagaimana berbentuk. Aku menulis catatan ini untuk siapa saja yang mungkin menemukan sisa-sisa diriku; mungkin malaikat yang lewat atau bintang yang pernah kucintai dari kejauhan.
Mobil itu menatapku dengan mata lampu, pensil menggambar lingkaran tanpa akhir di meja. "Kami adalah kamu," kata mereka, dan aku mengangguk pada bayangan di cermin. Istriku akan tertawa melihat ini. Bintang-bintang diam saja, terlalu jauh untuk peduli. Kita semua bergerak menuju sore, katanya, di mana angin adalah satu-satunya yang berbicara.
Ketika saatnya tiba, aku tahu aku akan pergi, mungkin lewat pintu samping. Mungkin sebagai bayangan yang lupa tubuhnya sendiri. Rumah bukanlah tempat, tapi luka yang kita bawa, seperti pohon yang meneduhkan tanpa tahu siapa yang bernaung. Dan aku? Aku hanya garis samar di bawah matahari pagi; berjalan, kembali, entah ke mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H