Sudah lebih satu tahun kejadian meletusnya Merapi, di Yogyakarta. Kenangan itu pun masih melekat erat dibenak saya, begitupun saya yakin masih jelas teringat bagi mereka yang tinggal dilereng gunung tersebut. Bagi mereka yang merasakan abu vulkaniknya, bagi mereka yang ikut berlari mencari tempat aman, dan bagi mereka yang mencoba mencari korban letusan. Kenangan yang saya punya, adalah ketika saya disuruh untuk liputan ke tempat pengungsian. Saat itu, Merapi masih dalam kondisi awas, dan abu vulkanik masih menghujan di Yogyakarta.
"ini peristiwa harus kalian liput !"
Saya ingat sekali, dosen berucap seperti itu. Seketika kami yang ada diruangan tersontak kaget, dengan tugas yang diberikan. Saya hanya berfikir, kenapa disaat orang lain mencari tempat aman, justru kita disuruh untuk naik ketempat yang tidak aman tersebut. Pengungsian yang saya singgahi ini katanya sudah berada di jarak aman, tapi, saat saya mencoba mendatangi, pengungsian tersebut masih dibilang rawan. Meski berbahaya, tapi saya menanggap ini tantangan, dan menjadi sebuah pengalaman.
Foto diatas adalah sisa dari kenangan yang saya punya tentang dahsyatnya lahar dingin merapi. Sampai sekarang saya heran, lahar dingin ini sampai bisa menggulungkan batu besar, yang saat itu pernah ada di Jalan Magelang. Sayangnya saya tidak bisa memotret batu besar tersebut, karena terkendala jarak dan kegiatan.
Kenangan itu akan menjadi cerita menarik, yang kelak bisa ku bagi pada "anak-cucu" (meskipun masih teramat sangat lama, haha). Mendapati kenangan tersebut, membuat saya semakin jatuh cinta dengan Gunung Merapi. Setiap cuaca cerah, Merapi akan terlihat gagah. Ada satu tempat favorite saya, dimana bisa melihat jelas lekuk Merapi dengan jelas. Ya, tetapi harus dengan cuaca cerah. Tempat itupun tak bisa untuk disinggahi, hanya bisa melewatinya saja, sebab tempat itu bernama "Jembatan Janti". Jembatan Janti ini jembatan layang di Yogyakarta.
"Wow, Subhanallah," ucapan itu akan keluar dari dalam hati saya, ketika saya benar-benar melihat Merapi di atas Jembatan Janti. Tapi, saya hanya bisa merekam keindahan Merapi dengan mata saya saja. Terkendala arus lalu lintas, dan rambu "tidak boleh berhenti". Inilah yang membuat saya berkeinginan meraih Merapi dengan kamera yang saya punya. "Saya harus dapat !"
Merapi berhasil saya dapat, pertama kali saat saya berlibur ke air terjun daerah Kulon Progo. Saat saya pulang kembali ke Jogja, saya berhenti disebuah Jembatan bersama teman rombongan. Dengan sigap saya mengambil kamera, dan *klik. Dapatlah satu Merapi yang saya raih.
Mungkin pembaca pada heran, apa sih menariknya, toh di foto dari tadi bentuknya sama saja. Ya, memang Merapi bentuknya akan sama. Tapi, bagi saya, Merapi akan semakin menarik untuk di foto, jika kita mendapati spot tempat yang pas. Merapi akan menjadi beda, jika di foto dari beberapa tempat. Dan, saya selalu berusaha mencari tempat yang pas tersebut, selain jembatan di Kulon Progo dan Jembatan Janti. Merapi ketiga yang saya dapat hanya menggunakan kamera dari handphone. Apapun alat bantu dalam mengabadikan Merapi, saya tetap menyukai Merapi. Foto ketiga ini saya dapat dari sudut desa di Kaliurang, saya mendapati ini ketika pulang bermain dikontrakan teman di daerah Kaliurang, tepatnya di belakang Universitas Islam Indonesia (UII). Ya, masih tetap Merapi itu INDAH !