Kalimantan. Menjadi pulau idaman, hamparan pohon berdaun hijau pekat dan berbatang kokoh, berdiri tegak disetiap inci tanah. Pantaslah saja udara disini sejuk, sebab oksigen menari-nari bebas. Suasana yang teramat didambakan oleh manusia yang diselimuti kesibukan berbagi nafas ditengah kota. Tidak bagi mereka, para penghuni lebatnya hutan belantara. Oksigen yang menari bebas itu tak dijadikan alasan untuk mereka berseteru memperebutkannya. Bukan hanya ada oksigen bebas, mereka pun bisa menikmati lauk-pauk yang tersedia tanpa perlu berebut. Mereka tahu, hutan telah memberi banyak anugrah untuk mereka bertahan hidup.
Meski hutan ini lebat, sinar kecil mentari pagi pun tetap menjadi kesyahduan bagi penghuni hutan. Tampak pagi ini, telah berjejer rapi bebek-bebek liar dipinggir sungai, yang airnya berwarna coklat. Kalimantan. Pulau yang memiliki banyak sungai berwarna coklat, tak banyak yang tahu ini adalah sungai jernih. Air coklat ini memang tampak ‘menjijikkan’, tapi cobalah tengok hingga ke dasar. Segar itu akan bisa dinikmati, melesat masuk ke dalam tenggorokan.
Bebek telah beriring pergi meninggalkan sungai selepas dahaga itu hilang. Kini berganti para badak yang ingin menyegarkan tubuh. Tampak biasa saja, semua telah memulai aktifitas pagi di hutan belantara ini. Burung-burung telah memulai bernyanyi merdu, bertengger didahan pohon yang lentur. Ayam-ayam liar telah mengorek isi tanah, mencari rejeki untuk perut pagi ini.
“Nguk..nguk”
Suara besar dan menggema itu terdengar dari balik batang besar pohon ulin. Lihat, itu si penguasa hutan Kalimantan. Siapa tak kenal dengan orang utan, badannya dan suaranya sama-sama besar, bulu lebat selebat hutan belantara di pulau ini. Kalau manusia kota bilang ia orang utan, tapi para penghuni hutan memanggilnya “Thatan’. Pagi yang berbeda dirasakan olehnya, seharusnya ia tidak berteriak di pagi yang masih sunyi ini.
“Nguukk..nguuk”
Ini kali kedua ia berteriak. Seperti sedang menahan sakit, tampak tangannya memegang perut. Menurut perkiraan, ia akan melahirkan hari ini. Dari ujung sungai, berlari seekor orang utan jantan. Nafasnya terengah-engah, tanah bergetar hebat sebab kaki besar itu menghentak kuat. Semua mata penghuni hutan tertuju pada tubuh besar berlarian itu. Semacam penasaran, lalu sebagian penghuni bertanya.
‘”Ada apa Thatan, seperti sedang terburu-buru?” tanya seekor burung Tingang yang terbang disamping orang utan.
“Iya ada apa denganmu Thatan?” Siput ikut bertanya sambil mencoba meneggakkan tubuhnya yang terbalik akibat hentakan kaki orang utan.
“Jangan banyak bertanya, lebih baik kalian bantu aku, ikuti aku ketempat betinaku”
Langkahnya kini terhenti tepat disebuah semak dibawah pohon Ulin besar. Wajah Dori terlihat sumringah mendapati pasangannya datang, tapi saat sakit itu mendera kembali, wajahnya berubah menjadi pucat.
“Kenapa semua mengerubungiku, aku hanya ingin ada suamiku. Pergi kalian!,” bentak Dori saat melihat hewan lain tengah menyaksikan ia kesakitan.
Satu persatu hewan penghuni hutan pergi meninggalkan Dori dan Thatan. Sebenarnya hanya pergi dari pandangan Dori saja, sebab mereka masih diam menunggu dibalik pepohonan yang tak jauh dari tempat Dori. Ada rasa penasaran dan kecemasan saat mendapati teman sesama penghuni hutan tengah dilanda kesakitan. Tepatnya sakit saat akan melahirkan. Ya, pagi ini hutan belantara hening dalam tanya.
***
Hari ini. Dori dan Thahan berada di atas sebuh pohon ulin yang besar. Mereka terlihat senang melihat anaknya yang begiti lincah. Keseharian Dori dan Thatan selalu di hiasi dengan ulah anaknya itu. Mereka tersenyum dan kadang cemas lalu segera menghampiri Borne yang hampir terjatuh. Rupanya Borne melompat pada ranting yang sudah rapuh. Sehingga dia hampir terjatuh.
"Ayah, kenapa sekarang banyak ranting yang lemah. Aku pegang saja dia patah. Apa mereka sedang sakit" Borne bertanya dalam pelukan Thatan. Suaranya agak melemah karena baru saja dia dikagetkan dengan patahnya ranting yang dia pegang. Untunglah ayahnya segera melompat dan menangkap Borne. Kemudian ayahnya menjawab sambil bergerak mendekati Dori yang tengah bersiap memeluk Borne. "Pohon ini memang sedang sakit, Borne. Lihatlah daunnya mulai berguguran. Yang masih menempel pun sudah terlihat layu. Makanya kamu harus hati-hati, ya!"
Sesekali, Borne melihat wajah ayahnya yang berkata kata. Kemudian dia melihat ke sekelilingnya. Rupanya memang benar apa yang dikatakan ayahnya. Pohon ulin itu nampak tidak sekokoh pohon ulin yang lain. Pantas saja dari tadi ayah dan ibunya tidak pergi jauh darinya. .Mereka terus mengawasi Borne yang sedang bermain sendiri itu.
Borne kini berpindah pelukan. Dori memeluk Borne dengan penuh kasih sayang. Mereka adalah kelurga yang saling menyayangi. Borne kemudian mengerutkan dahi, merasakan sesuatu yang berbeda.
"Ibu! Kenapa tubuh ayah dan ibu kurus. Apakah ayah dan ibu sakit juga seperti pohon ini. Apakah tangan ayah dan ibu bisa patah juga seperti pohon ini."
Dori dan Thatan, mereka saling berpandangan. Sesekali mereka juga saling melihat tubuh masing masing. Tubuh mereka memang jauh lebih tinggi dari Borne. Tapi jelas terlihat bahwa mereka kurus sekali. Tidak seperti Borne yang terlihat sehat dan gemuk.
Dori dan Thatan tak juga menjawab pertanyaan Borne. Sepertinya memang ada yang disembunyikan oleh mereka kepada Borne. Hingga akhirnya Borne terlihat mengantuk dalam pelukan ibunya. Dan tak berapa lama kemudian, Borne tertidur lelap dalam pelukan ibunya. Setelah melihat Borne tertidur, kemudan Thatan berkata perlahan.
"Dori, makanlah dulu. Kamu harus selalu sehat agar bisa menjaga anak kita"
"Ayah saja makan duluan. Ayah kan perlu tenaga untuk mencari makanan. Dan makanan untuk Borne sudah ibu pisahkan. Pokoknya Borne tidak boleh kekurangan makanan. Dia harus tumbuh menjadi anak yang sehat"
Dori berkata sambill melihat anaknya yang tertidur pulas. Sementara itu Thatan terlihat meneteskan air mata. Thatan terharu dengan sikap istrinya yang selalu mengutamakan makanan terbaik untuk Borne. Walaupun Dori sudah terlihat kurus karena selalu memberikan makanan terbaik untuk Borne.
"Dori, hari ini ayah akan pergi mencari makanan agak jauh. Karena di daerah sini sudah mulai susah mencari makanan"
Dori menatap tajam wajah suaminya dengan penuh kesedihan. Kemarau panjang dan kebakaran hutan ini memang telah membuat mereka menderita. Dori tak berkata kata. Anggukannya seakan sebuah isyarat agar suaminya pergi dengan semangat, dan doa Dori dengan tulus mengiringi kepergian suaminya. Setulus air mata yang menetes di pipinya.
Tak ada lagi kata-kata dari keduanya. Thatan kini mulai berayun diantar pohon pohon yang tinggi. Diikuti tatapan Dori sambil memeluk Borne yang masih teridur pulas.
***
"Ayo cepat lari!...."
Suara teriakan untuk mengajak berlari itu terdengar berkali kali. Teriakan minta tolong dan teriak kesakitan juga terdengar berulang ulang. Semua itu bersamaan dengan suara gemuruh dan gemeretak suara ranting yang terbakar. Asap beserta debu yang mengepul keatas membuat suasana semakin menakutkan. Kepulan asap itu sesekali menerbangkan percikan bara yang tertiup angin.
Borne bersama ibunya berayun menghindari kebakaran itu. Mereka bersama orang utan dan penghuni hutan yang lainnya terlihat panik. Beberapa diantaranya ada yang sudah tidak berdaya lagi menghindari ganasnya api. Yang lemah dan tak bisa berlari sudah pasrah berteriak dalam panasnya si jago merah.
Dori sudah semakin lambat berayun. Borne merasakan irama pelarinnya melemah. Karena ibunya tidak sekuat dirinya yang masih bersemangat menghindari kebakaran. Borne sudah beberapa kali menoleh ke arah belakang. Ibunya terlihat kelelahan dan tak bisa lagi berayun.
"Ayo bu! Kita harus cepat menghidar. Apinya semakin besar"
Borne berteriak. Meski tidak terlalu jauh, tapi gemuruh suara kebakaran memaksanya untuk berteriak. Sementara itu, ibunya berpegang pada sebuh dahan pohon. Dia berhenti dan menatap Borne yang masih berdiri menghadap kearahnya. Matanya terlihat sayu karena kelelahan, namun Dori tak ingin terlihat tak berdaya di hadapan anaknya.
"Ayo Borne. Kita harus cepat"
Ditengah nafasnya yang tersenggal, Ibunya berkata sambil bersiap berayun. Borne kemudian membalikan badan untuk melanjutkan lagi menghindari kebakaran. Tapi baru saja bersiap berayun. Tiba-tiba terdengar suara teriakan ibunya yang keras namun semakin menjauh kebawah.
Beruntunglah, Ibunya tidak jatuh ke tanah. Dia kini berada di sebuah pohon kecil yang beranting banyak sekali. Pohon itu sangat rimbun sehingga bisa .menopang tubuh ibunya. Dengan cepat ibunya langsung bersiap kembali naik ke atas pohon yang besar.
Tapi sepertinya dia terlalu lemah. Dia hanya diam memeluk pohon besar itu dan tidak langsung naik ke atas. Borne menunggu dengan cemas, karena di bawahnya sudah terlihat asap. Dalam kecemasan itu. Borne melihat sebuah bambu yang dengan cepat menghampiri tubuh ibunya. Bambu itu tidak hanya satu, Ada beberapa bambu yamg sepertinya memang sengaja di arahkan ke tubuh ibunya. Sesaat sebelum bambu-bambu itu sampai di tubuh ibunya. Pandangan Borne tiba tiba menjadi gelap. Dia tak bisa melihat apa-apa lagi.
Dalam pandanganya yang gelap itu. Borne seakan ditunjukkan pada keadaan beberapa saat sebelum terjadi kebakaran itu. Ketika itu, Borne sedang makan disaksikan ibunya. Dan hampir setiap kali makan. Ibunya tidak pernah mau makan bersama.
"Ayo Borne, makan yang banyak. Biar kamu menjadi anak yang sehat dan kuat"
Itulah yang selalu dikatakan ibunya. Namun Borne jarang sekali dan hampir tidak pernah melihat ibunya makan. Hingga suatu ketika, Borne memergoki ibunya tengah makan sisa sisa makanan yang tidak habis dimakan Borne. Spontan keadaan itu membuat Borne marah, karena Borne tidak mau menjadi anak yang. Mementingkan diri sendiri. Namun saat itu ibunya bisa menenangkan dengan berkata bahwa dia sudah makan. Dan sisa sisa makanan Borne itu tidak dimakannya. Dia hanya mengobati rasa rindunya saja pada makanan masa kanak kanaknya.
"Ibu waktu masih kecil makan yang seperti ini juga. Sekarang ibu sudah besar. Ibu tidak suka lagi. Karena ibu punya makanan lain yang biasa dimakan oleh yang sudah dewasa"
Begitulah ibunya berkata. Dan Borne percaya saja waktu itu. Tapi, kini borne sadar bahwa yang dikatakan ibunya itu bohong. Dan mungkin setiap sisa makanan Borbe saja yang setiap hari ibunya makan. Borne baru menyadari itu sesaat setelah meliha ibunya yamg lemah dan tidal memiliki tenaga untuk menjauh dari kebakaran. Borne juga menyadari bahwa mungkin itulah alasan ibunya bertubuh kurus.
"Ibu.... Seharusnya aku tau bahwa semua yang ibu katakan waktu itu bohong......"
Borne berkata pelan sambil menangis. Kemudian dia merasakan tubuhnya dibalikkan menghadapnya. Kini dia membelakangi arah ibunya yang tadi terakhir terlihat hampir terbakar, sesaat sebelum pandangannya menjadi gelap.
Adalah Thatan yang menutup pandangan Borne dengan telapak tangannya. Ayah Borne itu juga yang membalikkan badan Borne. Kemudian Thatan membuka penutup. Kemudian Thatan membuka tangannya yang menutupi mata Borne. Dia mencoba menenangkan Borne dan menyuruhnya untuk sesegera mungkin menjauh dari tempat itu.
"Jangan menoleh ke belakang lagi. Ibu akan ayah bantu dan akan segera menyusulmu."
Borne dengan cepat menjauh dari tempat itu. Meninggalkan ayahnya yang turun membantu ibunya.
***
Pagi itu telihat sekelompok orang utan sedang bermain. Semuanya tampak ceria, hanya satu saja yang sedang bersedih. Dia adalah Thatan, yang kehilangan istrinya saat kebakaran beberapa waktu yang lalu. Sementara anaknya sudah pergi ke hutan bersama orang utan yang lain. Kini Thatan berkumpul bersama orang utan yang lain di sebuah penangkaran orang utan.
"Borne, aku dan ibumu selalu memberikan yang terbaik sejak kami terlahir. Bahkan sejak dalam kandungan, ibumu selalu makan makanan yang terbaik. Agar kamu terlahir menjadi anak yang sehat.
Borne, berayunlah di hutan sana. Naiklah ke pohon yang paling tinggi. Jangan seperti ayah yang kini berayun diatas kayu yang tak berbau kehidupan lagi. Kamu pasti sudah besar sekarang. Makanlah makanan terbaik yang ada di hutan sana. Karena kamu adalah orang utan.
Kami memang sudah terbiasa tinggal disini, karena beberapa diantara kami sudah sejak lahir berada di tempat ini. Tapi ayah masih belum bisa melupakan kebebasan tinggal di hutan sana. Karena ayah masih merasa sebagai orang hutan yang harus tinggal di hutan. Tidak dalam kandang seperti ini"
"Hey, jangan melamun aja. Ayo kita makan. Ini sudah waktunya makan. Lihatlah penjaga sudah membawa banyak buah buahan untuk kita"
Kata-kata itu membuat Thatan terkejut. Dia kemudian berjalan mengikuti temannya menuju buah-buahan yang sudah disiapkan penjaga penangkaran orang utan.
***
Si Thatan
Si Dori
Si Borne
Aku (hutan) ingin berteriak pada manusia
Aku ini hutan belantara, bukan padang pasir
Aku (orang utan) pun ingin bicara pada manusia
Aku ini ciptaan Tuhan, yang harusnya kalian pelihara
Jangan Kerangken aku dalam kandang, lepaskan aku di alam bebas
(bukan butuh suara sok peduli, tapi kami butuh raga yang bertindak)
***
*Hasil Kolaborasi*
Palangkaraya dan Bandung
GeeR (Gilang Rahmawati) dan R-82 (Roni Sundanicus)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H