Mohon tunggu...
Gilang Perdana
Gilang Perdana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Simbol Adiluhung Budaya Jawa

28 September 2009   15:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:39 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ditunjuknya Kota Solo sebagai tuan rumah World Heritage City Conference and Expo ke-empat tidaklah mengejutkan. Kota Solo memang dikenal sebagai kota budaya, selain itu juga terdapat peninggalan masa lalu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ada dua pengelompokan peninggalan, yaitu secara bendawi dan non bendawi. Jika kita tilik dari warisan budaya bendawi, Kota Solo sangatlah kaya akan hal tersebut. Lihat saja Keraton kasunanan dan Pura mangkunegaran yang masih berdiri dengan gagahnya. ada juga Gedung Bank Indonesia, Benteng Vastenburg, Pasar Gede,  dan masih banyak lagi bangunan-bangunan warisan peninggalan Kolonial Hindia Belanda yang bisa kita jumpai di kota bengawan ini.

Yang tidak kalah menariknya adalah sebuah peninggalan yang berupa perkampungan, terutama kampung cina atau pecinan.  Ada satu hal menarik tentang kampung pecinan, yang dulunya merupakan pusat konsentrasi etnis tionghoa karena adanya sebuah recht dari pemerintah kolonial dimana kaum pribumi dan etnis tionghoa tidak boleh bercampur. Ada juga kampung balong yang merupakan kampung percampuran antara cina dan jawa, mungkin terdengan aneh, tetapi memang benar dahulu cina dan jawa bisa bercampur di sana, alasan yang membuatnya bercampur adalah karena sama-sama miskin, maka anak keturunan mereka dikenal sebagai etnis ampyang, “kacange cino, gulane jawa”. Selain itu juga ada kampung bali di daerah Kebalen dan Kampung Madura di daerah Sampangan, juga Kampung Arab yang kebanyakan mereka berasal dari Hadramaut.

Jika saja di luar negeri kita mengenal istilah Chinatown atau pecinan maka alangkah baknya jika di kota Solo ini dibuat hal semacam itu, mungkin nanati namanya bisa “pejawen”, sebuah simbol adiluhung budaya jawa. Jadi bukan hanya benda-benda antik seperti batik, gamelan, atau pusaka saja yang bisa dijadikan ikon warisan budaya. Semoga pihak terkait bisa merealisasikan gagasan seperti ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun