Banyak orang yang suses lewat percetakan unversitas, begitu juga banyak guru yang nyaris sempurna dibentuk lewat percetakan unversitas keguruan. Seperti yang kita ketahui di Indonesia sendiri menjamur unversitas yang sengaja didirikan untuk mencetak lulusanya dengan bandrol Sarjana Pendidikan. Ironisnya banyak juga unversitas yang hanya sekedar menawarkan bandrol tersebut secara cuma- cuma dan istan tanpa proses akademik yang sistemik, tidak lain tidak bukan sebutan tersebut tersandang oleh universitas terbuka.
Bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar unversitas terbuka hanya merncetak sebuah patung yang dibandrol dengan gelar S.pd. Mengapa dikatakan patung? karena pada implementasinya banyak guru unversitas terrbuka yang tidak siap bahkan lumpuh dalam mengajar, guru produk universitas terbuka dikelas haya dirasa kehadiranya ada tapi tidak untuk fungsinya sebagai pengajar dan pendidik. Bagaimana tidak hal tersebut dapat terjadi, kita kembalikan pada sistem pembelajaran di universitas terbuka, kegiatan perkuluahan yang hanya berlangsung selama dua hari dalam satu minggu biasanya pada hari sabtu dan minggu dengan muatan materi yang sedemikian banyak, sementara di universitas reguler perkuliahan berlangsung dalam rentang waktu yang lebih lama. Bandingkan saja dengan universitas reguler yang dalam pembelajaranya harus menempuh renteten kegiatan perkuliahan seperti KKN,KKL, PPL, Micro Teaching, dan kegiatan akademik lainya, lewat penggodogan tersebutpun kadang mahasiswa belum dapat tercetak secara sempurna menjadi seorang guru, apalagi dengan system perkulihan di universitas terbuka, sepertinya hal yang mustahil lewat universitas ini guru akan tercetak dengan baik yang ada hanyalah guru karbitan yang premature dalam mengajar. Janggalnya banyak mahasiswa universitas terbuka yang sudah dapat terjun kelapangan menjadi guru padahal mereka masih bertatus sebagai mahasiwa unversitas terbuka. Guru lulusan universitas terbuka saja kadang masih kita pandang sebelah mata apalagi guru yang masih dalam proses pengkatrbitan. Sementara jika kita bandingkan dengan Universitas Reguler mereka tidak dapat serta merta menjadi guru wiata bakti, namun meraeka harus digodog hingga matang melalaui kegiatan akadremik.
Prosess pembelajaran dalam Universitas terbuka serba praktis dan instan hanya akan mempoduksi guru yang dapat mengajar dengan kitab LKS, Buku teks, dan hal lain yang sifatnya tekstual, sementara kebutuhan sisiwa tidak dapat tercukupi kewat metode mengajar yang sedemikian rupa,siswa butuh guru yang berkualitas untuk membimbing dan mendidiknya, keterbatasan guru yang seperti itulah yang akhinya menjadikan siswa sebagai tumbal akibat dari rendahnya kualitas guru bentukan universitas terbuka. Tidak hiperbola rasanya jika siswa disebut korban dari renahnya kualitas universitas terbuka. Sepertinya hal ini cukup memberikan kita gambaran keprihatinan suramnya pendidikan di Indonesia atas ulah unversitas terbuka, berdasar data dari dikanas kabupaten setempat UASBN SD tahun 2009 kabupaten tersebut menduduki perinkat ketiga terendah di provinsi Jawa Tengah, hal ini dapat disinyalir karena banyaknya guru wiata bakti dikabupaten tersebut yang dikategurikan masih premature dalam mengajar, bayangkan saja di sebuah MI dikabupaten tersebut terdapat empat guru PNS dan lima guru wiata bakti jebolan unversitas terbuka sementra sebagian guru tersebut masih berstatis guru bantu mahasiswa unversitas terbuka.Dari rendahnya kualitas guru dimadrasah tersebut alhasil siswa hanya diajar membeo dan mengerjakan LKS.
Sungguh suatu ironi dikapupaten tersebut menjamur unversitas terbuka keguruan yang tersebar hampir ada di setiap wilayah kecamatan. Namun dikabutaen tersebut tidak ada satupun universitas reguler yang ,menyediakan program keguruan. Tampaknya hal ini perlu koreksi agar pendidikan di kabupaten tersebut lebih baik yaitu dengan tidak memperbolehkan mahasiwa lulusan SMA yang senggaja mengikuti perkuliahan tersebut sebagai ganti dari perkulihan di universitasa reguler, namun akan lebih bijaksana jika aunversitas terbuka hanya diperbolehkan untuk mahasiswa yang sebelumnya telah berkulih dengan strata pendidiakan yang lebih rendah misalnya dari program Diploma 2 atau Diploma 3, sehingga hal ini lebih meminimalisir bayaknya guru karbitan yang permatur dalam mengajar. Karena gurulah nantinya yang akan menjadi salah satu indikator dalam sukses tidaknya suatu pendidikan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H