Mohon tunggu...
Gilang Fahmi
Gilang Fahmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ajining diri seko lathi, Ajining rogo seko busono

Sesorang yang suka mempelajari banyak hal dan masih akan selalu lapar akan ilmu baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Dinasti Politik pada Pemerintahan Tingkat Daerah dan Desa di Jepara

20 Desember 2022   20:45 Diperbarui: 20 Desember 2022   20:46 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dinasti Politik merupakan sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki hubungan keluarga. Dinasti Politik lebih identik dengan sebuah kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak dan seterusnya, agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga. Dengan kata lain, jika ditanya politik keluarga disebut apa, jawabannya adalah dinasti politik.

Berdasarkan hasil survei IFES dan Lembaga Survei Indonesia pada Februari 2014 menyatakan bahwa praktik dinasti politik berdampak negatif bagi masyarakat yang mana dinasti politik cenderung membuat marak korupsi, tidak demokratis, dan lebih mementingkan politik daripada kepentingan rakyat. Dinasti politik ini menjadi masalah serius ketatanegaraan kita karena dianggap menjadi salah satu penyebab korupsi, terlebih mencederai nilai -- nilai demokrasi di Indonesia itu sendiri dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran -- pelanggaran dalam tatanan negara Indonesia.

Dinasti politik sesungguhnya sebuah hal yang jarang sekali ditemui dalam konsistensi politik di Jepara, hal ini disebabkan karena hampir tidak ada kekuatan politik besar yang bersumber dari suatu lingkaran elit. Berdasarkan hasil rapat pleno KPU Jepara Rabu (22/2/2017), pasangan Ahmad Marzuqi-Dian Kristiandi meraih dukungan terbanyak dengan jumlah suara sebanyak 319.837 suara atau 51,25% dari jumlah suara sah sebanyak 624.096 suara. Pada saat inilah momentum dimulainya dinasti politik di Jepara yang mana pasangan ini hanya didukung oleh partai tunggal PDIP dengan hanya total 10 dari 50 kursi yang ada di parlemen. 

Selanjutnya pada pemilu tahun 2019 munculnya nama -- nama legislatif yang masih mempunyai ikatan keluarga dengan pasangan Bupati dan Wakil Bupati Jepara. Nama -- nama tersebut adalah kelompok, H. Maskuri dari PPP yang mana adik dari Ahmad Marzuqi, Haizul Maarif dari PPP yang mana beliau adalah menantu dari Ahmad Marzuqi, Ibnu Hajar dari PPP yang mana beliau adalah anak dari Ahmad Marzuqi. 

Kelompok Kedua, Hesti Nugraha dari PDIP yang mana adalah istri Dian Kristiandi pada saat itu dan Hengki Sandi Atmojo dari PDIP yang mana adik dari Dian Kristiandi. Dari hasil pilkada 2017 dan pemilu 2019 merupakan indikasi kuat adanya kemunculan dua dinasti politik di kabupaten Jepara, yaitu dinasti politik Bapak Ahmad Marzuki dan Dinasti Politik Bapak Dian Kristiandi.

Selain pada tingkat kepemimpinan pemerintahan daerah, praktik dinasti politik ini juga dapat dilihat sangat marak terjadi di strata kepemimpinan pemerintahan tingkat desa. Hal ini dapat dibuktikannya dengan sering terjadinya pencalonan pemimpin desa atau perangkat desa dari kalangan keluarga petahana. Dinasti politik ini bisa saja disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kaidah hukum yang memungkinkan itu terjadi dimana besaran ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencapai 20% kursi atau 25% suara sah, berkontribusi terhadap kemungkinan terjadinya politik dinasti atau kekerabatan. 

Tingginya besaran ambang batas membuat adanya akses yang terbatas di dalam proses pencalonan Pilkada. Padahal keberadaan calon perseorangan dinilai penting untuk menghadirkan calon alternatif. Faktor kedua, yang juga berkontribusi terhadap terjadinya politik dinasti yang destruktif yaitu kelembagaan partai politik yang belum demokratis. Rekrutmen calon kepala daerah cenderung elitis, yang keputusannya diambil oleh segelintir orang saja di partai politik. Faktor ketiga, yaitu mahalnya biaya politik juga ikut berkontribusi menghadirkan politik dinasti. 

Selain itu praktek mahar politik atau jual beli tiket pencalonan juga ikut menyumbang terjadinya dinasti politik. Faktor keempat yaitu rendahnya kesadaran masyarakat kita itu untuk mengevaluasi dinasti politik. Hal itu lantaran pendidikan pemilih dengan pendidikan politik belum berjalan secara optimal.

Akibat dari dinasti politik ini salah satunya adalah pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam sistem pemerintahan. Dalam Penegakan hukum di Indonesia, sering tergagap ketika terbentur kepentingan politik atau perkara yang ditanganinya bersentuhan langsung dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa meski pada kondisi tertentu penegak hukum cukup tegas menghadapi penguasa, namun secara umum tidak demikian dan bahkan terkesan alergi penguasa.

Selain itu, dampak negatif apabila dinasti politik ini diteruskan dapat menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, "darah hijau" atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi. Yang kedua sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. 

Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elite dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan. Yang ketiga sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun