Gaya hidup flexing, yang semakin populer di kalangan mahasiswa, telah menjadi topik kontroversial. Bagi sebagian orang, flexing adalah bentuk ekspresi diri yang tak berbahaya, sementara bagi yang lain, itu merupakan bentuk identitas terdistorsi. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi kedua perspektif tersebut dan mengupas apakah flexing benar-benar memiliki dampak yang merugikan pada mahasiswa ataukah hanya merupakan cara kreatif untuk mengekspresikan kepribadian mereka.
Flexing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gaya hidup yang menampilkan kekayaan materi dan gaya hidup mewah. Hal ini sering kali terlihat dalam postingan di media sosial, di mana mahasiswa memamerkan barang-barang mahal, perjalanan mewah, atau pengalaman eksklusif yang mereka miliki. Bagi sebagian orang, flexing adalah cara untuk membangun citra diri yang kuat dan menunjukkan keberhasilan mereka dalam mencapai kehidupan yang diinginkan.
Dalam konteks ini, ada argumen yang mengklaim bahwa flexing merupakan bentuk ekspresi diri yang tak berbahaya. Bagi beberapa mahasiswa, flexing adalah motivasi untuk bekerja keras dan meraih kesuksesan. Mereka percaya bahwa dengan memamerkan pencapaian mereka, mereka dapat menginspirasi orang lain untuk mencapai hal yang sama. Selain itu, flexing juga dapat memberikan dorongan kepercayaan diri dan rasa bangga pada diri sendiri, yang penting untuk pembentukan identitas individu.
Namun, ada juga pandangan yang berpendapat bahwa flexing dapat menyebabkan identitas terdistorsi pada mahasiswa. Dalam budaya yang didorong oleh materi dan pembandingan sosial, terlalu fokus pada kekayaan dan gaya hidup mewah dapat memicu perasaan rendah diri dan tekanan emosional pada mereka yang tidak mampu mencapainya. Mahasiswa yang terjerat dalam persaingan tak sehat ini dapat merasa terjebak dalam spiral utang dan konsumsi berlebihan, mengabaikan nilai-nilai penting, seperti pendidikan, pengembangan pribadi, dan hubungan sosial yang sehat.
Sebagai solusi, penting bagi mahasiswa untuk memiliki pemahaman yang seimbang tentang flexing dan mengambil sikap yang tepat terhadap gaya hidup ini. Pertama-tama, mereka perlu memahami bahwa kemampuan finansial seseorang tidak boleh menjadi penentu nilai dan identitas diri. Menyadari bahwa materi bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan dapat membantu mahasiswa menjaga keseimbangan dan fokus pada tujuan yang lebih berarti, seperti pencapaian akademik, pengembangan keterampilan, dan kontribusi positif pada masyarakat.
Selain itu, penting bagi mahasiswa untuk berbagi dengan bijak dalam lingkungan digital. Mereka harus menyadari efek sosial dan emosional yang mungkin ditimbulkan oleh postingan flexing mereka. Sebagai pengguna media sosial yang bertanggung jawab, mahasiswa harus mempertimbangkan pengaruh mereka terhadap audiens dan mempromosikan nilai-nilai positif, seperti kerja keras, ketekunan, dan kepemimpinan.
Perguruan tinggi juga memiliki peran penting dalam membantu mahasiswa mengatasi identitas terdistorsi yang mungkin muncul akibat flexing. Pendidikan yang berfokus pada pengembangan kepribadian, etika, dan nilai-nilai moral dapat membantu mengajarkan pentingnya integritas dan memberikan perspektif yang sehat dalam mengejar tujuan hidup.
Secara keseluruhan, fleksibilitas sebagai ekspresi diri pada mahasiswa dapat menjadi topik yang rumit. Sementara bagi beberapa orang, flexing adalah cara yang tidak berbahaya untuk mengekspresikan kepribadian dan merayakan kesuksesan mereka, bagi yang lain, itu dapat menyebabkan identitas terdistorsi dan penekanan emosional. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk memiliki pemahaman yang seimbang tentang flexing, menghindari pembandingan sosial yang merugikan, dan menjaga fokus pada nilai-nilai penting dalam kehidupan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H