Sepertinya, anak yang durhaka terhadap orangtua itu, tanpa disadari mungkin orangtuanyalah yang terlebih dahulu durhaka terhadapnya, tidak semua. Jangan mentang-mentang ridho Tuhan ada di tangan, maka bebas memperlakukan anak seenaknya.
Setiap individu memiliki hak atas dirinya sendiri, tentu orangtua dan anakpun memiliki hak dan kewajiban terhadap masing-masing peran.
Dalam keadaan apapun anak wajib berbakti kepada orangtua, selama tidak keluar dari kebaikan, hukum Negara mengatakan seperti itu, didalam agama menyebutnya tidak keluar dari syariat. Orangtua juga memiliki hak dan kewajiban terhadap anak, dan itu sudah mereka lakukan dengan baik disatu sisi, tetapi tidak sedikit orangtua yang melupakan sisi lain hal terpenting dalam memenuhi hak dan kewajibannya terhadap anaknya.
Saya pernah mendengar dan membaca sebuah kisah, tentang penyesalan orangtua yang seharusnya jika dilihat oleh mata dunia, merupakan sebuah kegembiraan.
Ada seorang dosen di universitas terkemuka di Indonesia, ia bercerita memiliki tiga orang anak laki-laki dan memiliki kehidupan yang ia inginkan. Dengan baik dan penuh kasih sayang mereka berdua membesarkan anaknya. Waktu terus berlalu, mereka bertiga menjadi pria yang cerdas dan sukses, ada yang kuliah di luar negeri, ada yang bekerja di luar negeri dan ada yang bekerja di perusahaan besar.
Sama seperti anaknya, siapapun pasti akan mengatakan bahwa orangtua mereka juga sukses dalam mendidik anak-anak mereka. Namun, sang Ayah menyadari sesuatu saat sang Ibu jatuh sakit, keras. Terbaring lemah dan tak berdaya, berteman sang suami tercinta.
Berkali-kali Ayah menelepon anak-anaknya, sang anak selalu merespon tidak bisa, bahkan hanya untuk sekedar menjenguk, sibuk dan sibuk kata mereka.
Dosen tersebut bercerita dengan suara yang lirih dan suasana yang sedih. Saya yang sebagai anak dari kedua orangtua sayapun ikut terbawa suasana.
Hingga suatu hari, Tuhan memanggil Ibu dari ketiga anak tersebut. Pemakaman dilakukan dengan sangat baik, tanpa satupun kehadiran dari anak mereka, betapa sedihnya Ayah. Ibu yang disebut Nabi tiga kali itu tak berarti apa-apa lagi bagi anak-anaknya.
Anak-anak yang durhaka, tapi sebelumnya, Ayah bercerita bahwa ia sangat menyesal tidak memberikan hak anak yang berupa diajarkannya ilmu agama dan Al-Quran, yang mana sangat penting untuk tambahan bekal ke tempat abadi. Yang disayangkannya lagi, anakpun tidak pernah menyadari dengan sendiri pentingnya ilmu agama. Dosen tersebut tidak bisa menyalahkan anaknya, sedari awal ia dan istrilah terlambat menyadari.
Orangtua memanglah mengemban ridho Tuhan, tapi bukan berarti serta merta menyalahgunakan kekuasaan. Jika tiga orang anak tadi menyadari sendiri apa itu agama, mereka tak juga bebas dari kedurhakaan, mengapa? karena sang anak mungkin akan menuntut haknya, ‘mana didikan agamamu?’ Serba salah sepertinya, dan menjadi orangtuapun juga serba salah.
Terlepas dari orangtua mengerti atau tidaknya agama, seharusnya mencoba mengerti. Agama yang melekat di KTP bukanlah agama sembarangan yang saat terlahir dengannya, lalu dengan mudahnya tidak menjalankan kewajiban sebagai seorang yang beragama.
Perjalanan spiritual bukanlah perjalanan singkat, jika memang benar tiga anak itu tersadar, mungkin mereka akan berkata, “aku membenci mereka yang saat pagi hari datang, mereka mati-matian membangunkanku untuk pergi ke sekolah, tapi tak pernah mati-matian membangunkanku untuk terbebas dari api neraka kelak lewat berdirinya sholat subuh. Dan sekarang aku mati-matian mendirikan sholat subuh itu sendiri”
Lalu anak nomer dua berkata “tapi kalau kita membenci mereka, kita akan menjadi anak durhaka, bukankah kita baru belajar hal itu kemarin?”
Mereka bertiga bingung dan resah hingga memutuskan untuk tetap berbakti dengan harapan orangtua mereka mengenal agama dan bersama menetap di surganya Tuhan yang abadi. Akhir yang indah. Tapi itu semua hanyalah ‘jika’.
Tidak memberikan salah satu hak dan kewajiban anak saja, sudah menjadi orangtua yang durhaka, apalagi bagi orangtua diluar sana yang jelas-jelas menyalahgunakan kekuasan yang Tuhan berikan, anakpun tak lepas dari kekerasan fisik dan jiwa.
Terserah anak mau menjadi apa, namun pastikan ia memiliki landasan yang kuat, agar saat dunia menghampiri, ia tidak lupa dengan orangtua dan Tuhannya.
Setidaknya ajarkan seperti yang Mbah Maimoen nasihatkan, “Ajarkan anakmu walau hanya alif ba ta, itu akan menjadi amal yang tak pernah putus saat berada di gelapnya tanah” intinya begitu.
Atau bisa berikan dorongan-dorongan untuk mempelajari agama dengan sepaham-pahamnya. Seperti yang saat ini saya lakukan, mendorong orangtua untuk menanamkan agama ke anak agar tidak menyesal seperti bapak dosen yang saya ceritakan.
Manusia tak pernah luput dari kesalahan, maka sebagai individu yang memiliki peran, akan lebih baik jika kita selalu mengintrospeksi diri sebagai orangtua ataupun sebagai seorang anak.
Bukankah Indah berkehidupan didalam keluarga yang saling mendoakan?
Bayangkan saja, anak sholeh dan orangtua yang membawa ridho Tuhan(?)
Orangtua berdoa agar anak menjadi sholeh dan anak sholeh yang berdoa agar orangtuanya masuk surga.
Bagaimana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H