Mohon tunggu...
Gilang Aditya Pratama
Gilang Aditya Pratama Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ayo maju kaum muda untuk menghibur Ibu Pertiwi

Selanjutnya

Tutup

Money

Akselerasi Industri Manufaktur Nasional Melalui RUU Omnibus Law

24 April 2020   09:28 Diperbarui: 24 April 2020   09:32 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang sedang dibahas di tingkat DPR memiliki dampak positf tidak hanya pada sektor ketenagakerjaan, tapi juga kemudahan berusaha dalam menciptakan perluasan lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, omnibus law dapat diterapkan dalam mendorong kinerja industri pengolahan (manufaktur) karena dalam beberapa tahun terakhir mengalami pelemahan yang disebabkan oleh penurunan investasi akibat perizinan di Indonesia yang dipadang terlalu rumit.

Kondisi tersebut dapat terlihat dari pengusaha yang akan membangun mal membutuhkan lebih dari 50 perizinan seperti lift, eskalator, gen set, dan sebagainya sehingga sangat berbiaya tinggi (high cost). Hal ini berbeda dengan yang ada di luar negeri yang hanya memerlukan satu izin dalam membangub mall. 

Selain itu, pengusaha masih diminta untuk memperpanjang perizinan, setiap dua atau lima tahun sekali. Padahal, industri manufaktur mestinya diberi izin beroperasi sampai 20 tahun, dan tidak perlu setiap dua atau lima tahun sekali memperpanjang perizinan, kecuali jika pengusaha ingin mengubah lini bisnis, seperti dari garmen ke rumah tangga.

Terdapat juga Undang-Undang dan Peraturan Menteri yang bisa dikalahkan oleh Peraturan Daerah seperti Undang-Undang terkait otonomi daerah, dimana dalam pelaksanannya terkadang tidak sejalan dengan peraturan yang diterbitkan pemerintah pusat. Hal tersebut membuat pengusaha kebingungan dalam menjalankan usaha mereka, sehingga cenderung tertarik dengan negara-negara lain.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, struktur Produk Domestik Bruto (PDB) jika dilihat berdasarkan lapangan usaha menunjukkan kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Pada tahun lalu, sektor industri masih menjadi kontributor utama PDB dengan andil 19,7%, namun pertumbuhannya hanya 3,8% atau lebih rendah dari laju 2018 sebesar 4,27%.

Peran terbesar kedua dalam PDB adalah sektor perdagangan sebesar 13,01% dengan pertumbuhan 4,62%, pertanian 12,72% (tumbuh 3,64%), konstruksi berkontribusi 10,75% (tumbuh 5,76%), serta pertambangan dengan andil 7,26% (tumbuh 1,22%). Tiga sektor yang memiliki pertumbuhan tertinggi pada 2019 adalah jasa lain sebesar 10,55%, jasa perusahaan 10,25%, serta informasi dan komunikasi yang tumbuh 9,41%.

Sepanjang 2019, data BPS menunjukkan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi sebesar 4,06% yoy yang melemah dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 6,01%. Di samping itu, permintaan terhadap produk dari industri pengolahan juga sedang mengalami penurunan di tengah pandemi Covid-19. sehingga, untuk meningkatkan kembali pertumbuhan industri manufaktur, pemerintah perlu melakukan perbaikan baik dari kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi struktural.

Pemerintah menyebutkan terdapat 81 Undang-Undang (UU) dan 1.240 Pasal telah diidentifikasi dan akan disederhanakan melalui metode Omnibus Law, yakni pembentukan satu undang-undang yang mengubah berbagai ketentuan yang diatur dalam berbagai UU lainnya. Dengan tidak dilupakannya fokus pemerintah terhadap lima sektor industri prioritas yang dapat meningkatkan pertumbuhan industri manufaktur. Kelima sektor industri tersebut ialah industri makanan dan minuman (mamin), tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik, dan industri kimia.

RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang digodok oleh pemerintah dan DPR juga diharapkan dapat segera terimplementasi secara optimal, sehingga membuat industri manufaktur nasional tumbuh lebih tinggi. Tidak hanya diterbitkan dalam bentuk Undang-Undang, peraturan tersebut juga harus segera dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen), dan tidak seperti Undang-Undang lain yang aturan turunannya cenderung terbit lebih lama.

Upaya tersebut menuntut peran aktif dan dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah dan DPR tetapi juga stakeholder eksternal terutama kelompok buruh. Keberadaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja seharunya dapat disadari dan diyakini dapat berdampak positif terhadap kinerja perekonomian Indonesia khususnya sektor industri manufaktur, dimana kemajuan sektor tersebut akan berdampak langsung terhadap berbagai instrumen didalamnya termasuk tenaga kerja yang mana dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan para buruh di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun