Pada periode kedua Pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah berfokus pada penyelesaian masalah-masalah yang menghambat investasi di Indonesia. Salah satunya yakni terkait tumpang tindih regulasi dan ketidaksinkronan antara regulasi di daerah dengan regulasi dari pemerintah pusat. Kondisi inilah yang menjadi faktor utama tidak optimalnya upaya pemerintah dalam mendongkrak investasi di Indonesia. Setidaknya alasan tersebutlah yang menjadi latar belakang penyusunan Omnibus Law.
Pemerintah telah menyerahkan dua draf RUU Omnibus Law kepada DPR, yakni RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU Omnibus Law Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Dari dua draf tersebut RUU Omnibus Law Cipta Kerja paling banyak ditentang oleh publik, terutama dari kalangan serikat buruh dan serikat pekerja. Bahkan penolakan sudah mulai disuarakan sejak RUU tersebut dirumuskan pemerintah, karena minimnya pelibatan stakeholder dalam penyusunannya.
DPR telah memutuskan untuk membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Badan Legislasi. Gagasan untuk tetap membahas RUU tersebut muncul sebagai upaya menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global. Perkeonomian nasional pun diharapkan akan semakin kuat yang muncul dari perubahan ekosistem investasi, karena dengan aturan-aturan baru diperkirakan daya saing menarik investor akan meningkat.
Perlu disadari bahwa keputusan untuk melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja membutuhkan pendapat, pemikiran mendalam, dan pertimbangan dari berbagai pihak. Hal ini menuntut situasi yang memungkinkan sumber-sumber daya yang ada dikerahkan secara optimal. Namun, saat ini dunia termasuk Indonesia sedang dihadapkan pada Pandemi Covid-19.Â
Bahkan dari sumber yang ada kasus positif dan meninggal dunia akibat Covid-19 terus meningkat. Pemerintah Indonesia menyikapi ini dengan mengeluarkan PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), mengingat permasalahan yang timbul telah menjadi masalah yang multidimensi. Artinya bukan hanya masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian, tetapi dampak kerugian sosial dan ekonomi yang juga cukup besar.
Saat ini perkonomian nasional sedang jatuh yang mungkin berpotensi terus menurun, bahkan beberapa lembaga survei memprediksi akan terjadi krisis di seluruh dunia. Di Indonesia, pemerintah telah merevisi UU Keuangan Negara malalui Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 dalam rangka mengantisipasi dampak Pandemi Covid-19 dan perekonomian yang bergerak turun diluar batas normal. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah cukup dengan Perppu tersebut perekonomian Indonesia mampu dipulihkan.Â
Jawabannya tentu masih diragukan, karena aturan tersebut hanya akan meminimalisir dampak saja dalam jangka pendek. Lalu apa yang bisa menjadi alternatif solusi jangka panjangnya, ya jawabannya adalah RUU Omnibus Law baik RUU Omnibus Law Cipta Kerja maupun RUU Omnibus Law Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Dua RUU tersebut harus segera dibahas dan diundangkan.
Seperti kita ketahui, dampak dari undang-undang (UU) tidak bisa dirasakan secara langsung. Kembali lagi bahwa investor tidak serta merta akan menanamkan modalnya di Indonesia dengan disahkannya dua RUU Omnibus Law tersebut. Tetapi, dengan RUU Omnibus Law pemerintah bersama dengan DPR telah mengambil langkah maju dengan merevisi banyak undang-undang dalam sekali waktu.Â
RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang menekankan peningkatan produktivitas dan RUU Omnibus Law Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang memberikan fasilitas perpajakan kepada investor akan menjadi salah satu daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Oleh karena itu, masyarakat perlu mengapresiasi keputusan DPR untuk membahas RUU Omnibus Law ditengah Pandemi Covid-19. Penyelenggaraan rapat secara virtual tentu menjadi solusi terbaik ditengah Pandemi Covid-19 dan kebijakan PSBB. Namun, DPR juga perlu menyadari peran publik dalam pembahasan ini sangat penting dan harus optimal. DPR sudah melakukan ini dengan mengundang serikat buruh dan serikat pekerja. Apabila ada serikat buruh atau serikat pekerja yang menolak untuk memenuhi undangan tersebut, tentu bukan DPR yang harus disalahkan.
Mari kita sadari peran masing-masing, baik pengusaha, buruh, akademisi, dan stakeholder lainnya dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Semua pihak harus mendukung pembahasan RUU Omnibus Law. Mendukung bukan berarti setuju dengan semua aturan yang dimuat dalam draf RUU Omnibus Law, tetapi tetap harus memperhatikan pasal-pasal yang kemungkinan tidak sesuai sebagaimana ketakutan publik terkait adanya "pasal titipan".