Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

'Persib Day' dan Keheningan 90 Menit

2 Maret 2017   10:03 Diperbarui: 2 Maret 2017   22:00 5257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Ketika hari itu telah tiba, semua seakan-akan diberhentikan dari rutinitas kesehariannya secara tersadar tanpa intervensi dari pihak mana pun. Seolah itu merupakan ibadah wajib yang jika ditinggalkan akan menimbulkan dosa. Mahasiswa, karyawan, pemuda, pensiunan, petani, wanita, janda, duda, jomblo, dan pelbagai kalangan lainnya rasa-rasanya tak pernah sanggup menanggung dosa itu. Mereka menamakan hari sakral itu dengan; Persib Day!

Harinya Persib sudah menjadi seperti waktu jeda alias tak ada aktivitas di Bandung dan sekitarnya, karyawan perusahaan elit sampai karyawan industri rela menanggalkan perkerjaannya hanya karena ingin menyaksikan klub kebangaannya berlaga selama 90 menit. Pun dengan mahasiswa baik negeri maupun swasta, mereka akan bolos kuliah dan lebih memilih stadion ketimbang kelas.

Semua seperti nothing to lose saja. Tidak ada kebijakan dari pemerintah setempat yang mengatur bahwa semua warga wajib menghentikan aktivitasnya untuk menghormati klub sepak bola Persib Bandung tampil dan menciptakan keheningan selama 90 menit. Tidak ada sama sekali intervesi seperti itu.

Saat Persib Day, komunitas, kafe, warung kopi, hingga pelosok perkampungan seolah berlomba menyediakan tempat nobar alias nonton bareng. Mulai dari yang layarnya kecil, sederhana, layar tancap, hingga layar  besar dan megah. Laga tandang atau pun kandang tak jadi soal untuk mengadakan nobar, jika pun Persib bermain di kandang nobar adalah alternatif lain bagi masyarakat yang tidak kebagian tiket ke stadion.

Seperempat jam menuju kick off biasanya jalanan kota mulai sepi, bagi Bon Jovi (Re: Bobotoh Nu Lalajo di TV) cukup dengan menyeduh kopi dan menyiapkan beberapa cemilan untuk 90 menit ke depan kemudian duduk manis dihadapan layar kaca, tapi untuk bobotoh yang biasa ke stadion dan tahu betul akses tiket yang membuatnya tidak pernah kehabisan lembar demi lembar tiket masuk stadion, sejak satu jam jelang kick off pun mereka sudah berdesakan di pintu masuk Si Jalak Harupat.

Menganalogikan Persib Day tidak cukup hanya dengan hal-hal sederhana, memang Persib Day itu terlihat begitu simpel yang jika dimaknai hanya soal harinya Persib bertanding. Namun, ada hal yang rumit untuk bisa memahami betul istilah Persib Day seutuhnya. Jika Persib adalah Agama, maka Persib Day adalah waktunya shalat atau sembahyang. Seperti itulah analogi ekstremnya.

Seperti hari besar lainnya, ketika Persib bertanding jalanan tidak hanya sepi melainkan juga dirundung keheningan yang akut. Hanya suara teriakan Gooooooollll yang bisa membelah keheningan dari setiap sudut rumah atau tempat nobar di sudut jalan. Persib Day tak ubahnya hari besar macam idul fitri, perkampungan dirasa hening sekali seolah kehidupan berhenti sejenak hanya karena pertandingan sepakbola. Kedegilan yang selalu ditunggu-tunggu.

Suatu waktu saya pernah menguji keheningan 90 menit itu di kawasan yang tak terlalu jauh dari pusat kota Bandung. Dengan cara yang amat sederhana; berjalan menelusuri jalanan yang biasanya ramai. Malam itu, bukan Persib Day biasa, hari Persib dengan penuh harapan, harapan untuk juara tentunya (red: final Piala Presiden 2015). Memang ada beberapa kendaraan atau manusia seperti saya yang berlalu lalang memecah keheningan waktu itu namun bisa dimaklumi mereka mungkin orang-orang yang pikun kalau hari ini adalah pertandingan besar Persib. Atau ada alasan lain? Bisa saja mereka kaum minoritas yang tak menyukai Persib.

Keramaian hanya tersedia di beberapa titik saja seperti layar besar yang dikerumuni orang banyak, hanya keramaian yang itu-itu saja. Keramaian yang lumrah terjadi saat Persib Day tiba. Tentu keheningan 90 menit tersebut menyodorkan kerinduan bagi saya yang mendambakan jalanan kota Bandung yang sedikit hening dari biasanya, karena memang saya tak kebagian Bandung tempo dulu yang masih asri. Kadang saya harus berterima kasih kepada Persib Day!

Hari ini bertepatan dengan pertandingan leg-1 semi final Piala Presiden 2017 antara Pusamania Borneo FC vs Persib Bandung saya mencoba mencari kembali keheningan 90 menit itu. Penelitian kecil-kecilan tanpa metode saya terapkan, dengan mencoba mengajak rekan kuliah untuk menghadiri salah satu acara bedah buku di Asia Plaza Sumedang atau mencari kolektor koran di kota Bandung. Dan jawabannya pun sudah bisa ditebak: Maaf hari ini Persib Day, sok asa teu paruguh kalo Persib tanding ulin-ulinan teh. (Maaf hari ini Persib Day, suka kurang nyaman kalau Persib tanding diajak main).

Pada akhirnya, saya harus menikmati tradisi yang diciptakan alami oleh lingkungan sekitar. Padahal hari ini merupakan libur kuliah yang artinya jika dihabiskan diluar rumah tentunya akan menarik toh Persib main jam 18.00. Mungkin, kalkulasi waktu juga menjadi pertimbangan keputusan rekan saya itu, Sumedang-Bandung tidak cukup menghabiskan waktu seharian, kalau masih keukeuh, sudah barang tentu pulang malam dan melewatkan Persib Day menjadi resikonya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun