Regulasi pemain muda di Piala Presiden 2017 memang berdampak positif bagi Timnas U-23, namun tidak bagi kualitas pertandingan itu sendiri. Kesan yang didapat, dari ajang piala RI-1 ini adalah permainan baru akan menarik pada babak kedua. Pasalnya pemain muda yang dituntut untuk main oleh regulasi anyar tidak dilibatkan langsung dalam strategi tim. Selepas turun minum, setiap klub peserta langsung tergesa mengganti pemain muda-nya dengan pemain senior untuk meningkatkan kualitas permainan tim.
Seperti contoh di tim Persib, dua diantara tiga pemain muda selalu rutin diganti di babak kedua. Hanya Febri Hariyadi bisa dijadikan pengecualian. Gian Zola oleh Dedi Kusnandar, Henhen Herdiana oleh Supardi Nasir, Ahmad Baasith oleh Kim Kurniawan, atau Angga Febriyanto oleh Matsunaga Shohei. Setelah perubahan tersebut, permainan Persib menjadi lebih meningkat.
Pemain muda sebagai figuran di ajang ini masih tak bisa dipungkiri. Boleh saja beberapa pihak mengelak mengenai hal ini, namun pelatih Djadjang Nurdjaman berkeberatan dengan regulasi yang disosialisasikan di turnamen yang tengah berlangsung saat ini. Ia mengaku, awalnya begitu kesulitan merancang strategi dengan tiga pemain minim pengalaman di dalam skuadnya. Walau sudah ada Febri yang sedikit berpengalaman, namun Djanur tetap harus memutar otak menentukan posisi apa yang harus di korbankan demi memenuhi regulasi.
Sensi Djanur terhadap regulasi tersebut perlu diamini jika mengacu pada pengembangan teknis sepak bola yang seutuhnya. Namun, dari segi bisnis dan keuntungan, pemain muda juga bisa memberikannya bagi klub. Karena disatu sisi regulasi ini cukup menguntungkan bagi klub itu sendiri. Apa pasalnya? Mereka tak perlu mencari pemain berkualitas dengan harga tinggi toh pemain muda bisa membantu dengan kualitasnya yang tak kalah mentereng. Output dari regulasi ini ternyata positif juga, banyak pemain yang diambil Luis Milla Aspas. Artinya kualitas mereka cukup mumpuni.
Namun di sisi lain, regulasi ini juga menimbulkan masalah. Beberapa orang teknis di sepak bola mengajukan hipotesis bahwa regulasi ini kurang tepat. Bagaimana ketika pemain muda dipaksa harus bermain di tingkat yang sebenarnya mereka belum siap betul. Agaknya ada campur tangan orang non-teknis yang membuat keputusan ini yang tak ada kaitannya sama sekali dengan pengembangan teknis sepak bola itu sendiri.
Maka tak heran jika pihak-pihak terkait akan mengevaluasi regulasi ini selepas Piala Presiden 2017 usai. Apakah aturan ini cocok di aplikasikan untuk Liga Satu atau tidak sama sekali. Di Eropa kita mengenal satu nama yang selalu bertaruh dengan pemain muda, Sir Alex Ferguson, eks manajer United ini pernah mengatakan “Kamu bisa memenangkan apapun dengan pemain muda”.
Akan tetapi tidak dengan cara pemaksaan. Melancarkan regenerasi bukan seperti itu caranya (baca: membuat regulasi pemain muda wajib tampil di level tinggi). Melainkan dibina dengan baik sejak grassroot (akar rumput). Ada kata ‘pembinaan’ yang harus diperkuat disini.
Dari grassroot level (akar rumput), pembinaan harus terus dilakukan secara berjenjang menuju youth formative phase, hingga youth final phase. Daripada memaksakan pemain muda yang belum siap tampil di level tinggi lebih baik buat aturan baru yang lebih menekankan kepada fase pembinaan. Semisal, setiap klub diwajibkan memiliki Diklat atau akademi.
Bisa juga dengan membuat program yang di masa lalu pernah ada. Semisal Primavera dan Barretti atau SAD. Program pembinaan usia dini ke luar negeri akan membuat pemain Indonesia setidaknya memiliki kualitas atau nilai lebih karena atmosfer disana berbeda dengan sepak bola dalam negeri.
Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, Kurnia Sandy, dan lainnya sudah membuktikan diri bahwa mereka terbaik di kelasnya atau masa-nya. Ilmu dari Italia mereka terapkan sehingga etos kerja yang mereka bawa membuat kompetisi lebih menarik.
Jika program tersebut terlewat basi atau tidak bisa lagi diterima, mungkin opsi terakhir dengan membentuk dan menyebarkan tim scouting ke daerah-daerah. Metode blusukan pernah menemui kata sukses di era Indra Sjafri. Dan hal demikian sudah barang tentu kita perlu belajar atau mengacu pada Arsenal dan Atletico Madrid. Mereka menyebar ratusan tim scouting ke pelbagai penjuru dunia untuk mendapatkan bibit terbaik yang kemudian di poles menjadi bintang melalui beberapa tahap termasuk akademi klub.