Selama satu dekade terakhir ini nama dengan akhiran ‘Solossa’ selalu menghiasi Timnas Indonesia dan klub asal Papua bernama Persipura Jayapura. Lebih dari itu, peran mereka disebuah tim bukan hanya sekadar sebagai pemain bintang semata melainkan juga memiliki jiwa kepemimpinan di lapangan.
Diawali dari rekam jejak kaki Ortizan Bertilone Nusye Solossa sampai era Boaz Theofilius Erwin Solossa hari ini. Dilahirkan dalam keluarga Solossa, keluarga terkenal di Provinsi Papua Barat mereka sebetulnya tidak berdua saja dikenal sebagai pesepakbola hebat dari tanah Papua, ada nama lain yang tidak seberuntung Ortizan ataupun Boaz di keluarga Solossa yakni Joice Solossa dan Nehemia Bill Solossa.
Joice merupakan pendahulu Ortizan, sedangkan Nehemia merupakan adik pertama Ortizan. Karir mereka berdua di dunia sepakbola nasional tidak secemerlang Ortizan dan Boaz. Keduanya nyaris tidak dikenal oleh supporter Timnas mengingat Nehemia sendiri belum sekalipun berseragam Timnas Indonesia. Terlebih pria berusia 33 tahun itu memilih berkarir di tim-tim medioker nusantara dan tak pernah menembus skuad utama Persipura Jayapura. Cerita Joice lebih kelam daripada Nehemia, Ia terakhir bermain di tim PON Papua.
Justru Ortizan-lah yang pertama kali muncul mewakili keluarga Solossa di panggung sepakbola nasional. Ortizan sendiri lahir di Sorong  28 Oktober 1977, ia merupakan bek kiri andal yang pernah dimiliki Persipura Jayapura dan Timnas Indonesia. Senioritasnya di Persipura Jayapura sempat membuatnya beberapa kali menjabat kapten tim. Ortiz juga tidak berkarir di satu klub saja selama hidupnya, Pada tahun 1999-2008 Ortizan meninggalkan Persipura Jayapura, Ia berlalu-lalang dari satu tim besar ke tim besar lainnya di Indonesia. PSM Makassar, Persija Jakarta, Arema Malang, Persiram Raja Ampat pernah menggunakan jasanya.
Pemain yang akrab disapa Sajojo ini mencuat namanya saat memperkuat PSM Makasar (1999-2004), sehingga sejak tahun 2004-2005 ia berkesempatan bermain bareng dengan adiknya Boaz di Tim Nasional Indonesia, Ortizan dan Boaz sering saling berpasangan di sebelah kiri lapangan dalam membangun serangan. Pada saat itu, status Boaz sebagai ‘wonderkid’ dan Ortizan sendiri merupakan senior yang cukup disegani para koleganya.
Meski begitu, Ortizan bukan merupakan produk pemain bola terbaik yang terlahir dari keluarga Solossa. Nama Boaz menjadi yang paling harum diantara keempat Solossa bersaudara itu. Di usia 13 tahun pemain yang akrab disapa Bochi ini sudah menjadi andalan klub amatir PS Putera Yohan. Di klub pertamanya itu, Ia menyandang status pemain binaan 1999-2000. Setahun kemudian, Ia pun kembali menjadi pemain binaan Perserui Serui.
Boaz kemudian mendapat panggilan dari Tim PON Papua ketika usianya baru menginjak 15 tahun. Dalam ajang Pekan Olahraga Nasional ke-16 (2004) Boaz berhasil meraih gelar top skorer dengan raihan 10 gol. Hal itu membuat pelatih Timnas Peter White melirik dirinya.
Berbeda dengan abangnya Ortizan yang meraih kekuasaan di tim atas dasar seniorita, Boaz malah didaulat sebagai kapten ketika usianya belum genap 17 tahun oleh pelatih Jacksen. F Tiago di tim Mutiara Hitam. Semenjak saat itu Boaz semakin melejit karirnya. Gelar pencetak gol terbanyak Indonesia Super League musim 2008-2009 (28 gol) dan 2012-2013 (25 gol) plus gelar pemain terbaik Indonesia Super League musim 2009-2010, 2010-2011, dan 2012-2013 adalah bukti shahih bahwa Boaz merupakan salah satu aset striker terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Meski begitu, karir Boaz di Timnas tak semulus di klubnya Persipura. Indisipliner kerap membuat pelatih kepala Timnas terpaksa tidak mencantumkan namanya ke dalam tim. Akan tetapi Ia menebus segala kesalahan di masa lalunya dengan memimpin tim Nasional menuju final Piala AFF 2016 kali ini.
Perlu kita ketahui silsilah ‘pemimpin’ di keluarga Solossa, Orang tua Solossa bersaudara, Cristian Solossa dan Maria Sarobi Solossa merupakan kakak kandung dari JP Solossa Gubernur Papua ke-12. Maka tak heran jika jiwa kepemimpinan Boaz begitu baik di lapangan. Dr. Jacobus Perviddya Solossa, M.Si. atau lebih dikenal dengan panggilan J.P. Solossa atau Jaap Solossa sebelum meninggal dunia pada 2005 meninggalkan jejak sejarah sebagai tokoh yang rajin menuntut diadakannya otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang kaya akan sumber daya alam namun masih sangat miskin pengembangan.
Dari tokoh politik tersebut muncul tokoh lain di lapangan hijau yang juga sama-sama menuntut hak agar sepakbola Papua yang kaya bakat alami itu lebih diperhatikan. Melalui pengabdiannya di Timnas, Ortizan 2004-2005 dan Boaz 2004 hingga saat ini, mereka menjelaskan menggunakan kakinya bahwa mereka hanyalah sedikit bakat orang Papua yang terlihat oleh Indonesia.
Data diatas yang mendasari kepemimpinan keluarga Solossa disegani di tanah Papua maupun tingkat Nasional. JP Solossa, Ortizan, dan khususnya Boaz merupakan tipe pemimpin yang tak banyak bicara alias tipe pemimpin kharismatis. Pemimpin model seperti ini masih belum bisa dijabarkan oleh para pakar, sebab- sebab mengapa seorang pemimpin memiliki kharisma, yang diketahui adalah bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seorang menjadi pemimpin yang kharismatis, maka sering dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural powers).