Suatu hari, Galang si pria flamboyan itu termenung selepas berlatih sore bersama timnya di pojokan lapangan sepak bola yang mulai mendung. Entah apa yang membuatnya terlihat begitu sedih. Bisa jadi sebabnya adalah cinta, Apalagi kalau bukan persoalan cinta yang bisa membikin pria metroseksual, playboy, don juan, atau apalah yang bisa mendelegasikan kelakuan manusia macam dia bisa termenung seorang diri dipojokan lapangan sepak bola yang mulai mendung. Adakah alasan lain?
“Wanita mana lai yang biking kakak Galang Suryadireja ini resah dipojokan lapangan?”,KataJeki - rekan setim Galang itu menghampiri dengan sedikit pecicilan. “Apa yang membuat Jeki Watimena mengganggu pria yang sedang ingin sendiri?”Galang menimpali dengan nada yang sedikit berat. “Wanita itu masih banyak kakak, seng perlu dipikirkan terlalu berat ‘e!”Jeki sambil meloyor ke ruang ganti pemain.
Sedangkan Galang hanya bisa menggerutu didalam hati, kenapa orang-orang macam Jeki selalu bertendensi menilai dirinya sebagai pria flamboyan, sudah barang tentu lelaki flamboyan itu identik dengan cinta dan gonta-ganti wanita, apalagi flamboyan kerap disematkan kepada orang-orang terkenal yang berfrofesi sebagai public figure.
Galang merasa dirinya tidak berusaha menjadi seorang flamboyan yang mencuri perhatian banyak orang meskipun dirinya merupakan seorang pesepakbola terkenal di daerahnya. Ya boleh dimaklum, walau sebagai pesepakbola yang merumput di divisi 2 Galang punya potensi untuk menjadi bintang masa depan mengingat usianya baru menginjak 18 tahun. Apalagi Ia punya daya tarik yang cukup tinggi. Selain skill bermain bolanya, Ia pun punya paras menawan untuk dijadikan idola bagi kaum hawa.
Dengan paras dan penampilan itulah tidak sedikit orang yang melantiknya sebagai pria paling flamboyan didalam tim Batavia FC. Kita sudahi dulu perdebatan mengenai Galang pria flamboyan yang tak pernah merasa dirinya flamboyan itu. Karena esok timnya akan mulai bertarung mati-matian di final Divisi 2, pertandingan yang paling ditunggu bagi pemain amatil macam dirinya.
Pelatih kepala tim Batavia FC, Rico Nasution, menghampiri salah satu pemainnya yang masih saja terduduk sendiri ditepian lapangan. “Kau masih disini, boy?” Pelatih asal Binjai itu mengawali percakapan. “Ya coach, lagi cari angin”, Lantas coach Rico tak tinggal diam, dirinya paham betul kalau anak buahnya yang satu ini tengah bermasalah.
“Saya adalah pelatih kepala di tim ini, kalau dianalogikan ke kehidupan di rumah, saya adalah kepala keluarga alias bapak kedua kau. Jadi 23 pemain yang ada disini adalah tanggung jawab saya, saya berhak tahu masalah setiap pemain”.
“Besok kita berperang boy, laga final selalu tidak enteng. Saya hanya tak mau melihat satu personel pun berperang dalam kegelisahan. Sekarang kau ceritakan...” Coach Rico dengan logat khas Medan mencoba membujuk Galang untuk bercerita.
“Apa coach Rico pernah dicaci kemudian dimaki?” dengan nada lugas khas seorang flamboyan. “Dunia sepak bola itu keras. Dulu, ketika saya masih aktif bermain, saya tidak hanya dicaci maki. Dilempari botol air mineral oleh supporter, bahkan diteror oleh orang tak dikenal. Tapi, saya sudah memilih sepak bola sebagai jalan hidup, tidak ada cara lain selain menikmati APAPUN yang terjadi”.
“Saya masih belum bisa menangani tekanan. Bagi saya, pujian adalah racun paling berbahaya. Disebut sebagai seorang flamboyan merupakan caci maki yang paling meresahkan bagi saya..... Entah saya harus menikmati label tersebut atau entah saya harus marah. Saya risih, takut kalau popularitas itu menghentikan karir saya”.
Berkali-kali Galang diberitakan sebagai pria flamboyan oleh pers lokal yang sering meliputnya. Pemberitaan tim justru kalah aktualnya dengan pemberitaan Galang si pria/pemain flamboyan itu. Bahkan, media, pemain lain, masyarakat yang mengenalnya, hingga rekan setimnya ikut menyematkan label tersebut.