Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Bersentuhan dengan Sepakbola Grassroot Level

8 Maret 2017   18:13 Diperbarui: 19 Maret 2017   02:00 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat mengikuti piala rektor IPDN se-Indonesia di Stadion Kampus IPDN, Jatinangor. (dokumentasi pribadi)

Sudah sangat lama sekali saya ingin menulis ini. Pelbagai pertimbangan sempat menahan tulisan ini di draft. Termasuk menimang baik buruknya, saya cukup berhati-hati karena takut disebut riya apalagi so pahlawan. Hingga sampailah pada alasan lain, jika menulis merupakan proses merawat ingatan maka saya ingin memposisikan keputusan ini sebagai antisipasi kepikunan saat menceritakan semuanya kepada anak cucu dikemudian hari.

Bersama salah satu kawan yang memiliki lisensi kepelatihan D Nasional, akhir-akhir ini saya cukup intens bercengkrama dengan anak-anak usia 6-12 tahun (Grassroots level), 13-15 tahun (Youth Formative Phase), hingga 16-17 tahun (Youth Final Phase) di lapangan sepak bola milik swadaya.

Sebetulnya, ini bukan kali pertama saya terlibat langsung dalam pembinaan pemain muda, dulu, ketika hanya berbekal pengalaman bermain di level kabupaten/kota/provinsi bersama SSB (Sekolah Sepak bola), PS (Persatuan sepak bola), klub lokal, hingga tarkam saya tuangkan dalam program latihan, walaupun tidak terstruktur seperti sekarang ini setidaknya saya paham betul jika usia dini perlu penekanan terhadap teknik dasar bermain bola; passing (mengoper), shooting (menendang), dribbling (mengocek), keeping (menekuk), dan stop ball (menghentikan bola).

Dulu dan sekarang memang memiliki jurang perbedaan yang menganga, dulu saya masih melatih berdasarkan pengalaman yang saya miliki, kini saya bisa mengenalkan bahasa teknik di sepak bola disamping menekankan pentingnya teknik dasar bermain bola itu sendiri. semua berkat coaching clinic, diskusi dengan rekan saya yang baru saja lulus dari sekolah lisensi itu, sampai sharing bersama pelatih-pelatih lain.

Saya belum memiliki lisensi dalam urusan kepelatihan, namun jika ada kesempatan untuk mengambil lisensi, tentu saya tidak akan menyia-nyiakannya. Selama ini saya terbentur biaya. Maklum, kuliah dan kebutuhan lainnya mendesak saya untuk menahan keinginan untuk memiliki lisensi kepelatihan. Terpenting, untuk saat ini saya bisa konsisten membimbing mereka disini.

Latar Belakang

Keseriusan anak-anak untuk belajar sepak bola dengan prinsip yang benar membuat hati saya dan rekan saya terenyuh. Setiap sore anak-anak dengan usia 6-12 tahun berkumpul di lapangan dekat kantor desa. Saya memperhatikan cara mereka mengolah bola satu persatu, dari segi potensi mereka bisa dikatakan memiliki bakat alam karena bisa bermain sepak bola dengan cara otodidak. Walaupun begitu, ada beberapa kekeliruan yang perlu diluruskan dalam mengolah si kulit bundar.

Atas dasar itulah, akhirnya kami mendirikan kursus sepak bola bukan sekolah sepak bola (SSB). Mengingat peserta atau anak-anak yang berpartisipasi belum sebanyak sekarang pada saat itu. Dengan bermodalkan satu bola, kami dipusingkan dengan kelakuan anak-anak yang khas amat memusingkan. Ketidak-kondusifan dilapangan akhirnya membuat kami berpikir lebih ekstra untuk memiliki lebih banyak bola lagi.

Dengan satu bola itu tidak hanya memunculkan kondisi kurang kondusif namun juga ketidakefektifan dalam menerangkan materi. Tak jarang materi passing saja menghabiskan waktu satu jam karena satu bola oleh 15 orang, seharusnya dalam teorinya sesi passing memerlukan satu bola untuk dua orang dengan durasi lima menit saja.

Lambat laun, atas kepedulian orang tua siswa juga akhirnya kami memiliki inventaris bola dan alat-alat berlatih lainnya semacam cones, peluit, hingga gawang statis. Bantuan dari pihak-pihak terkait semacam sponsorship dan PSSI Askab juga amat membantu kami.

Masih teringat jelas, kegetiran ketika akan mengikuti turnamen antar SSB, kami disulitkan dengan tidak adanya alat transportasi untuk mengangkut pemain, akhirnya rekan saya memilih cara yang diluar dugaan, Ia menjual hp-nya demi anak-anak bisa berangkat ke venue. Hal-hal ketika masa sulit seperti itu akhirnya sering kami kenang sebagai pelecut dan motivasi anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun