Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Nasib Fresh Graduate di Tengah Pandemi Covid-19

21 April 2020   16:30 Diperbarui: 21 April 2020   17:31 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jauh hari ketika Covid-19 masih di Depok atau selambat-lambatnya sebelum pemerintah bermanuver lewat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saya telah membatasi kegiatan diluar rumah. Entah apa yang mampu mendorong saya melakukan itu semua, semata-mata hanya pretensi belaka.

Namun jika ditilik kembali rasanya masuk akal sebab pada akhir 2019 lalu saya mesti mengakhiri status saya sebagai mahasiswa. Ada kesibukan yang menguras energi seperti mencari hingga pengajuan topik penelitian, melaksanakan penelitian skripsi, revisi-revisi dari dosen, sidang skripsi hingga revisi lagi sebelum akhirnya wisuda.

Rasa lelah akhir tahun kian terasa jika membayangkan kembali sisa tur Jawa bersama salah satu tim sepak bola yang berlaga di kompetisi Liga 3. Agaknya keinginan untuk berlama-lama di rumah bukan lagi sekadar pretensi belaka. Melainkan suatu kebutuhan untuk membiarkan badan mengambil waktu istirahat barang sebentar.

Benar bahwa saya butuh waktu istirahat barang sejenak namun menimang status fresh graduate rasa-rasanya makin lama, makin dibiarkan, status tersebut tak ubahnya sebuah deadline yang kian menyusut dan mendorong saya untuk berpacu dengan waktu untuk memasukkan lamaran kesana kemari.

Sebab katanya, seorang lulusan diploma atau sarjana biasanya hanya memiliki waktu tenggang enam bulan untuk menyandang status fresh graduate. Ada juga definisi lain, bahwa fresh graduate merupakan lulusan perguruan tinggi yang belum pernah bekerja sebelumnya atau tak punya pengalaman.

Terlepas dari persepsi masing-masing individu terhadap definisi fresh graduate. Rasa senang dan sedih campur aduk setelah resepsi wisuda usai, saya menyandang dua gelar sekaligus, yakni seorang sarjana dan pengangguran.

Ada kelegaan saat berhasil menyelesaikan studi tepat waktu, hanya saja rasa lega tersebut sifatnya sementara saja. Sisanya tinggal beberapa kecemasan-kecemasan berkesinambungan. 

Cemas karena takut berlama-lama dengan kondisi tanpa pekerjaan, cemas status fresh graduate usang, cemas atas stigma para tetangga serta lingkungan sekitar menanggapi cemas-cemas sebelumnya.

Apalagi stigma lama dari masyarakat kita yang masih bertahan sampai kini, bahwa kaum terpelajar merupakan segolongan manusia yang mestinya serba tahu dan paling ditunggu kontribusinya bagi lingkungan. 

Namun realitanya, problematika pengangguran intelektual belum teratasi. Mengacu pada data Badan Pusat Statistika (BPS) tahun 2018, tingkat pengangguran sekolah tinggi berada di angka 3,76 persen.

Pada Agustus 2019, BPS memaparkan kembali data terbaru yang mereka miliki, bahwa angka pengangguran dari lulusan perguruan tinggi meningkat dari tahun sebelumnya. Diploma I/II/III 5,99 persen dan S1 5,67 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun