Menit ke-29 di final liga champions 2018 telah membawa kita pada sebuah kontroversi yang berlarut-larut, momen tersebut merupakan detik-detik dimana Mohamed Salah - pemain sejuta umat mengalami cedera serius hingga tidak bisa melanjutkan pertandingan. Sampai saat ini perdebatan masih saja membelah dua sudut pandang yang berbeda, antara si pembela Sergio Ramos dan simpatisan Mohamed Salah.
Banyak faktor yang membuat pelbagai kalangan bersimpati dengan Mohamed Salah, Ia berposisi sebagai korban dalam duel yang melibatkan Ramos. Korban dari segi hasil duel, bukan saat duel itu terjadi. Karena hasilnya Salah yang kemudian kurang baik saat terjatuh dan mengakibatkan ikon Mesir ini cedera serta terancam absen di Piala Dunia 2018.
Dilihat dari replay, tangan Salah ikut mengunci Sergio Ramos, pun sebaliknya. Keduanya sama-sama dalam usaha merebut bola tanpa memperhatikan posisi satu sama lain, sebuah kondisi yang memang afdol dalam definisi duel man to man saat pemain berebut bola dalam olahraga yang satu ini. Jadi apa yang dilakukan oleh kapten Madrid ini tidak sepenuhnya salah dan apa yang terjadi dengan Salah pun tidak sepenuhnya bisa dibenarkan.
Namun masyarakat bola dunia telah terlanjur menghakimi Sergio Ramos sebagai bek yang kerap bermain kotor. Intimidasi Ramos tidak terjadi sekali ini saja, dalam final musim lalu melawan Juventus Ia melakukan sikap yang bisa dibilang mencederai fair play dengan akting jatuhnya ketika duel 1 v 1 bersama Juan Cuadrado dan mengakibatkan sayap lincah Bianconerri tersebut mendapat kartu merah.
Trik tersebut menarasikan jika pengalaman dan mental Ramos sebagai seorang pemain bertahan sudah teruji kualitasnya. Intimidasi di lapangan memang tidak dibenarkan (jika terciduk oleh mata wasit), namun Ramos memainkan intimidasi dengan indah laiknya seorang aktor. Pemain berpaspor Spanyol ini tidak hanya piawai menghentikan pemain lawan dengan sebuah teknik dasar seorang bek, lebih dari itu. Ada gerakan lain yang bisa dilakukan Ramos untuk menjatuhkan mental lawannya.
Suatu gerakan yang sekali lagi salah jika terlihat oleh mata wasit. Namun selama para pengadil dilapangan tidak melihatnya maka hal demikian merupakan pelanggaran yang diwajarkan dalam pertandingan dan menjadi bagian dari trik menghentikan lawan, terserah kita mau mendeskripsikan trik tersebut sebagai trik kotor tetapi kata Maldini, Puyol, hingga Ramos sendiri itulah yang namanya seni dalam bertahan.
Kembali ke faktor penyebab mengapa aksi Ramos begitu dipermasalahkan kali ini dan simpati yang mengalir deras terhadap Salah yang dianggap korban kejadian ini. Ada satu hal yang membuat Salah terlihat sebagai si baik dan Ramos sebagai si jahat. Adalah prestasi Salah yang tengah melejit dan seperti yang sudah disebutkan di alenia pertama yakni Salah yang merupakan pemain sejuta umat. Sedangkan sekali lagi Ramos sudah terlanjur punya cap 'bek kotor'.
Selain itu, Salah cedera sedangkan Ramos tidak dan yang paling penting Madrid yang mendapat Piala Champions sedangkan Liverpool tidak. Andai ceritanya terbalik, mungkin semua akan baik-baik saja. Tidak perlu membalikan semuanya, Salah cedera tapi Liverpool juara. Cukup itu saja, mungkin tak akan ada petisi-petisi yang menggugat gelar ke-13 Madrid di meja UEFA dan FIFA.
Hal yang wajar jika kemudian Wools, sebutan fans Liverpool yang tidak berasal dari Liverpool menulis petisi di change.org bahwa Ramos memang sengaja melanggar Salah dan membuatnya mengalami cedera serius di bagian bahu. "Alih-alih memenangkan pertandingan dengan adil, dia (Madrid) menggunakan trik yang menentang semangat permainan dan permainan yang adil. UEFA dan FIFA harus mengambil langkah-langkah terhadap Ramos", tulis petisi tersebut.
Sampai artikel ini ditulis petisi tersebut sudah mendapat dukungan sebanyak 500 ribu akun lebih tanda tangan dari berbagai penjuru dunia. Selain petisi daring, aksi bela Salah berlanjut di Indonesia. Sejak selasa (29/5) malam beredar surat undangan via aplikasi Whatsapp untuk melakukan aksi didepan Kedutaan Besar Spanyol pada Kamis 31 Mei 2018. Dengan tagar "Indonesia Bela Salah".
Aksi tersebut murni atas inisiasi pribadi, oleh Muhamad Dendi Budiman. Ada dua hal yang dituntut dalam aksi ini: pertama meminta UEFA memberi sanksi kepada Ramos. Kedua mencabut gelar Liga Champions kepada Madrid. Hal yang disebut terakhir sebenarnya agak kurang logis - jika membuka masa lalu, dalam sejarahnya otoritas sepak bola Eropa belum pernah mencabut gelar sebuah tim, semisal seperti dua tahun lalu saat muncul petisi serupa yang meminta UEFA membatalkan lima gelar Liga Champions Madrid.