Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Semua Anak Ingin Menjadi Febri

18 Maret 2017   17:05 Diperbarui: 18 Maret 2017   17:37 1891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin jika Febri Hariyadi beredar di kompetisi sepak bola masa lalu, hal tersebut bukan merupakan persoalan serius karena memang saat itu sepak bola masih mengandalkan otot. Berbeda dengan hari ini, sepak bola modern menuntut sinkronisasi antara otak dan otot. Kapan saatnya dribbling, dan kapan waktunya melepas passing.

Sejatinya modernitas di sepak bola menuntut agar pemain lebih simpel/sederhana dalam bermain, namun rumit untuk diimplementasikan oleh pemain-pemain yang bersangkutan di lapangan. Seperti wejangan yang sering kita dengar dari mendiang Johan Cruyyf.

Dan pemain macam Febri sudah terlalu banyak beredar ke permukaan untuk kemudian tenggelam kembali. Pemain yang hanya mengandalkan tenaga tapi lemah saat berpikir/pengambilan keputusan. Tentu saja, pemain semacam ini lama kelamaan akan membikin pelatih/pemirsa bosan jika pemain itu sendiri tidak mengubah cara mainnya yang acapkali merugikan tim.

Banyak catatan yang harus diperbaiki pemain muda terbaik Piala Presiden 2017 ini, walaupun memiliki rataan menit bermain paling tinggi dan setara dengan senior-seniornya, Febri kadang selalu mampu memaksa kita untuk mengernyitkan dahi saat berlama-lama dengan bola. Ia kerap kehilangan momentum. Terlalu asyik dengan bola hingga akhirnya kesempatan menciptakan peluang di daerah lawan tertutup begitu saja hanya karena telat passing/crossing.

Bahkan, saking kesalnya menyaksikan Febri mengutak-atik gatuk si kulit bundar saya sempat menghakimi pemain yang satu ini untuk secepatnya belajar lagi teknik dasar passing.  Hal tersebut akhirnya menjadi sebuah kekhawatiran yang serius, saya takut jika siswa didik di SSB meniru cara Febri berlama-lama dengan bola itu.

Mungkin profit/feedback terbesar memiliki pemain yang mengandalkan aksi menggoreng bola adalah berharap pemain tersebut dijegal lawan sehingga menciptakan pelanggaran di area rawan gol. Selain itu, masih banyak lagi. Meskipun banyak, tetaplah coretan negatif ini harus segera diperbaiki karena satu kesalahan akan menghapus seribu kebenaran/kebaikan yang telah diperbuat.

Apa yang mereka (baca: anak kecil) lihat pertama kali akan tertanam menjadi batu fondasi, dan agaknya saya berada di persimpangan jalan dalam melihat dua hal yang dibeberkan diatas. Tentang dampak positif dan negatif Febri Hariyadi terhadap pesepakbola usia dini. Disatu sisi kehadiran Febri cukup memancing hasrat/antusiasme anak usia dini untuk berlatih sepak bola. Namun, di sisi lain mindset yang tertanam di jiwa mereka adalah bagaimana caranya menampilkan aksi laiknya Febri Bow yang punya penguasaan bola lebih lama di kakinya.

Saya tidak mungkin melarang mereka untuk berhenti meniru Febri, suka tidak suka, dia adalah inspirator bagaimana anak-anak mencintai sepak bola, saya juga harus tetap berpedomankan bahwa Grassroots level tidak boleh dikekang, biarkan mereka jatuh cinta dengan bola secara alamiah, dan Febri adalah cinta pertama mereka di olahraga sepak bola. Namun, dilain pihak jika hal tersebut tidak diluruskan saya takut mindset berlama-lama dengan bola yang Febri doktrin melalui aksinya itu akan abadi sampai senior. Karena kembali, sudah terlalu banyak pemain bertipikal seperti Febri tenggelam di sepak bola modern.

Jadi, tidak ada cara lain yang lebih aman dari pemain bersangkutan (baca: Febri Hariyadi) yang mengubah hal negatifnya itu di lapangan, agar anak-anak pun mendapat pencerahan secara alami tanpa harus di larang untuk tidak meniru Febri. Karena semua anak ingin menjadi Febri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun