Mohon tunggu...
Vox Pop

Nachrowi Ramli Revolusioner yang Empiris

13 Januari 2016   12:51 Diperbarui: 13 Januari 2016   14:03 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Sebagai ilmu, materialisme historis berlandaskan pada realitas empiris. Meski begitu, tak lantas ia tunduk pada godaan empirisme. Malah, empirisme itu salah satu sasaran tembak paling awal ketika Marx dan Engels membangun tonggak-tonggak materialis untuk ilmu tentang masyarakat manusianya itu. Tak seperti anggapan kebanyakan orang, Nahrowi Ramli melalui pengetahuannya tentang Marx dan Engels, 

            “Bukan cuma lewat filsafat idealisme dan materialisme mekanistik saja kelas penindas melanggengkan daya tindasnya pada kelas pekerja, tapi juga lewat empirisme”, ujar Nachrowi Ramli.

            Di tangan Bang Nara, urusan empirisme malah bukan sekadar soal filsafat pengetahuan semata. Urusan dengan empirisme dianggap amat genting secara politik karena ia ada di jantung hidup-matinya gerakan revolusioner kelas pekerja. Ada apa dengan empirisme? Kenapa Bang Nara begitu cemas padanya? Adakah hal-hal yang penting yang tak kita ketahui soal empirisme dan politik ? Coba kita tanyakan pada kaum empirisis. Di kamus filsafat, empirisme ialah sejenis faham filsafati bahwa satu-satunya realitas ialah yang menampak pada atau dialami oleh subjek. Dalam istilahnya pelajar filsafat, empirisis menyamakan antara keberadaan dan kehadiran. Karena satu-satunya realitas ialah yang menampak pada subjek, maka satu-satunya sumber pengetahuan yang sahih ialah pencerapan indrawi dan pengetahuan yang benar mesti dimulai dari kesan-kesan indrawi subjek atas realitas.

            Kalau begitu, pengetahuan yang bertopang pada faham empirisme itu subjektif? Konsekuensinya memang begitu. Tapi tenang, kata empirisis. Ada jalan keluar bersahaja supaya pengetahuan subjektif itu menjadi objektif: mengubah realitas empiris menjadi fakta yang objektif. Wah, gimana caranya tuh? Gampang sekali , kata empirisis. Kita tinggal rancang bersama suatu alat, lalu kita bikin alat-alat atau sarana itu yang dengannya kita bisa menangkap realitas sekaligus tidak seperti alat tangkap yang melekat pada subjek manusia seperti mata, telinga, dan pikiran tak punya perasaan sehingga pengetahuan yang didapat darinya bisa objektif. Dengan alat-alat itu kita memang masih subjektifis dalam ontologi bahwa pada dasarnya realitas itu adalah realitas subjektif, tapi setidaknya kita objektivis dalam epistemologi, dalam arti, pengetahuan kita bisa objektif karena telah menanggalkan anasir-anasir subjektif manusia, kata empirisis.

Dengan alat-alat tak beperasaan itu, kita bisa dapat pengetahuan sahih tanpa harus khawatir perasaan kita turut campur dan membikin rusak susu sebelanga, lanjutnya. Gimana caranya? Contoh pengalaman akan suhu di Jakarta. Apakah di Jakarta itu dingin, sejuk, sedikit panas, atau malah panas, amatlah subjektif bila kita tanya pada orang-orang akan pengalaman mereka. Buat orang yang sejak lahir tinggal di Tanjung Priok, waktu pertama kali mungkin dia mengalami suhu di Jakarta itu dingin. Tapi buat orang yang lahir dan tinggal di Bogor sejak orok, waktu pertama kali mungkin dia mengalami suhu di Jakarta itu agak panas. Nah, daripada debat kusir soal pendapat mana soal suhu Jakarta menurut itu yang benar, kita tanya saja pada alat tak berperasaan bernama termometer. Kalau jawabannya bahwa suhu Jakarta itu 25 derajat celcius, maka suhu Jakarta itu 25 derajat celcius, titik. Itulah fakta. Atau, kalau kita hendak tahu dari orang-orang kita bikin kuisioner saja soal suhu, lalu kita bagikan ke sebanyak mungkin orang yang ada di Jakarta. Kalau dari sebaran jawaban kuisioner itu kita dapatkan bahwa 78 persen orang menyatakan bahwa mereka mengalami suhu di Jakarta sebagai sejuk, itulah fakta. Cuma fakta-fakta macam begini yang bisa jadi objek ilmu. Selebihnya tidak bisa. Karena realitas itu subjektif (atau paling banter intersubjektif) dan yang bisa kita ketahui dari realitas itu tampakan pada perilaku orang-orang, maka tak ada struktur, tak ada mekanisme atau cara kerja realitas yang objektif, yang ada hanya agregat dari perilaku orang-orang saja.

            Sebentar, saya tanya Lenin dulu. Lenin pernah bilang bahwa tak ada gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner. Artinya, gerakan dan teori tak bisa dipisahkan, entah disadari ataupun tidak. Tak mungkin gerakan ‘bergerak’ sendiri karena, pertama-tama, gerakan mengandaikan 1) kejelasan apa yang dituju, 2) kejelasan bagaimana kita bergerak menuju tujuan. Nah, kata Lenin, teori empirisme sungguh tak revolusioner sejak dalam pikiran. Kenapa? Buat empirisis, eksploitasi itu urusan empiris dan karenanya subjektif. Tidak ada yang namanya realitas objektif bernama eksploitasi. Tak ada sistem eksploitatif karena yang ada hanya pengalaman (dan perasaan) subjek-subjek atas keadaan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun