Mohon tunggu...
Inovasi

Omong Kosong Revolusi; Kemenangan Kelas Menengah dalam Taman Buruan (Refleksi, Bakar Hutan di Akhir Tahun)

12 Januari 2016   21:06 Diperbarui: 12 Januari 2016   21:24 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia diwarnai oleh “kehijauan” yang subur dan “kebiruan” yang menghampar luas,  Bangsa kami diberkahi dengan beberapa hutan tropis yang paling luas dan memiliki keberagaman hayati di dunia. Puluhan juta masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada hasil hutan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, atau bekerja di bidang perekonomian pada sektor pengolahan kayu. Hutan merupakan rumah bagi berbagai flora dan fauna yang tak bisa dibandingkan dengan negara lain yang luasnya sama. Bahkan saat ini, hampir setiap ekspedisi ekologi, dalam menjelajahi hutan tropis Indonesia, kembali dengan penemuan spesies baru.

Gerakan bernafaskan lokalitas, selalu memiliki sebuah strategi yang kita sebut sebagai strategi budaya. Kegagalan “Spartacus” seakan menjadi identitas bangsa, terlihat pada kurangnya kapasitas negara dalam mengelola warisan leluhur bangsa dan menerapkan “kemandulan” pada hukum. Kemarin sore kita disibukkan oleh kegaduhan politik dari internal “manusia berdasi”, yang disusul oleh “kebakaran hutan” secara membabi buta, kemudian krisis ekonomi yang menyebabkan Rupiah melemah, seakan negara sedang membuka hubungan antara kelemahan dari praktek sebelumnya dengan pengoperasian rezim properti  di kawasan hutan negara yang luas.

“Land Tenure” seakan memiliki taring yang lebih tajam dalam kebuasan “hukum rimba” daripada pemerintah. yang secara sejarah telah dibagi-bagi ke dalam konsesi - konsesi yang lebih dari puluhan ribu hektar luasnya untuk perusahaan -perusahaan penebang. Nilai-nilai budaya sangat dipersempit ruang geraknya dalam hal ini, Pemerintah meneriakkan Nasionalisme dengan praktik - praktik penguasaan di semua wilayah. Negara penghasil kayu terbesar menjadi mantra sakti bagi pemerintah saat ini.

Gerakan bernafaskan nasionalisasi degan gagah menyatakan identitas bangsa yang kemudian dibawah bimbingan lagu Indonesia raya. Ketimpangan ini akan menjadikan masyarakat di sebuah wilayah tidak ingin dipersamakan dengan masyarakat di wilayah lainnya. Indonesia seharusnya menjadi inspirasi bagi proses revolusi serta transformasi peradaban dunia yang pada saat ini tengah dilanda berbagai macam diskriminasi. Pemegang palu kini membakar rumahnya sendiri, yang kemudian menawarkan air kepada “Land Tanure. Posisi paradox ‘penanda kosong’ kini mengantarkan Ibu pertiwi dalam kegersangan yang melanda Negara Agraris. Alih-alih, upaya untuk mengatasi situasi ini adalah dengan menempatkan pemerintah sebatas sebagai sebuah teks yang dibaca oleh masyarakat.

Seharusnya “Lestari Alam” ini sebaliknya dengan menempatkan bagaimana pemerintah  ‘membaca’ pengalaman serta kesulitan-kesulitan yang tengah kita hadapi sekarang ini. Ide dan praktik politik radikal yang menempatkan pembebasan “manusia hutan” dalam rangka keadilan, kesetaraan serta kebebasan yang telah berlangsung dari masa Spartakus hingga masa kini, seakan merupakan ukuran “layak” satu - satunya posisi politik yang paling sahih untuk meneropong pengalaman kita.

Kapitalisme ini tidak hanya dibangun di atas pengusiran-pengusiran dan pengkaplingan tanah (enclosure), tetapi juga semangat pembebasan atas penindasan yang mengatasnamakan “kepemilikan”. Dihapuslah segala mitos tentang omong kosong indahnya hirarki kebutuhan dan sucinya bumi pertiwi, proses internal universalisasi kapitalisme yang berupaya untuk memperluas relasi kepemilikan pribadi tuan - tuan terjadi dengan proses akumulasi melalui perampasan baik secara norma ataupun etika, kemandulan hukum dan proses kegaduhan politik yang berlarut – larut menambah catatan hitam kinerja pemerintah dimata masyarakat. Murahnya harga “manusia berdasi” di Indonesia menjadikan Ibu pertiwi ini “Taman Buruan”, proses universalisasi kapitalisme menjadi suatu proses perampasan atas kehidupan serta ruang hidup bersama melalui kekerasan politik atas nama yang privat.

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun