(Artikel ini saya tuju khusus untuk kawan-kawan buruh di Jakarta.)Â
Sehari setelah saya menerbitkan tulisan saya perihal perkara kasus Tirto dan TNI, seorang kawan yang saya kenal dengan baik sewaktu saya magang untuk meliput tentang para buruh di Jakarta guna mengumpulkan bahan tesis, Madan, mengirim email yang mempertanyakan pandangan saya terhadap peran rakyat yang sebenar-benarnya dalam perihal perpolitikan negara. Saya tak tanggung untuk membalasnya kemudian yang berisi seperti berikut (dipoles agar dapat dibaca dengan gampang dan enak);Â
"Yang paling benar untuk ditanya adalah peranan rakyat kepada seluruh negaranya. Termasuk sebagai berikut, dengan penjelasan mengapa dan bagaimana:Â
(1). Rakyat adalah kumpulan orang-orang yang independen dalam negaranya sendiri. Ia tak berpegang teguh pendirian, atau lebih tepatnya mirip seperti seseorang bertaat kepada Tuhan suatu agama, terhadap prinsip apapun selain hukum dan ideologi negara, serta agama mereka sendiri. Yang ditinggalkan oleh kebanyakan orang adalah bagaimana seseorang terjebak di kamarnya sendiri sehingga menganggap semuanya harus berjalan sesuai ajaran agama yang menguntungkan jenis-jenis mereka saja, walaupun tidak. Seperti Anda sendiri, Anda seorang Islam Jawa. Jika Anda nanti disuruh untuk memimpin gerakan untuk para buruh secara rapih (seperti di Aksi 4/11 dan 2/12 misalkan), Anda harus menyusun hal-hal penting berhubungan dengan acara yang dapat menguntungkan semua pihak.
Dan mereka mempunyai peran untuk sambung-menyambungi ini antar satu sama lain untuk membentuk sebuah persatuan yang kuat dengan cara-cara terbaik. Mereka bukan mengutamakan perbedaan sebagai hal yang mempersatukan, melainkan mengakui bahwa ada perbedaan diantara diri satu dengan yang lain. Maksud saya mengatakan hal ini, ketika pikiran kita terkungkung dalam pemahaman bahwa kita semua beda, maka akan ada waktu-waktu dimana kita terpecahbelah karena hal yang sama pula lamat-kelamatan karena akan muncul semacam rasa ketidakpuasan karena apa yang mereka inginkan pribadi tak selalu terpenuhi.  Akan tumbuh semacam urgensi kompetisi yang tidak sehat, seperti di Pilkada kemarin dengan keberadaan orang-orang tolol di media sosial dan semuanya membuat seisi negara terpecah-belah karena mereka tahu tujuan yang mereka inginkan adalah beda dan mereka berfikir apa yang mereka inginkan itu ada benarnya, walaupun sebenarnya tidak karena itu baru pendapat segelintir orang saja. Dengan hanya sekedar mengakui perbedaan, kemudian dapat terjalin sebuah kegampangan untuk mengembangkan sebuah jalan keluar terhadap suatu permasalahan yang tengah dirembuk, atau disebut sebagai cara dialektik oleh para filosof, atau lebih gampangnya, musyawarah. Ini juga dicontohkan oleh para pahlawan kita dulu.
(2). Rakyat memiliki peran untuk menilai pemerintahannya sendiri. Para pejabat, walaupun mereka juga punya, tapi mereka takkan paham sama sekali kecuali sampai seisi negara terjadi semacam clash karena mereka lebih mementingkan hal-hal yang menguntungkan secara satu-hal-is saja, contohnya seperti Freeport memiliki izin yang diperpanjang. Â Ini menguntungkan negara secara ekonomis karena investasi tetap berlanjut; bahkan yang memiliki Freeport adalah Amerika Serikat. Dan ini meningkatkan pamor negara di mata dunia serta pemerintah karena pemerintah saja yang memegang kuasa terhadap kontraknya, sedangkan orang-orang seperti Luhut Pandjaitan sok berang terhadap mereka.
(3). Seperti yang saya bilang tadi, rakyat hanya perlu berpegang teguh terhadap hukum, ideologi negara dan agama. Apa yang terjadi diantara kasus Tirto kemarin adalah bukti bahwa Indonesia belum menyadari hal seperti ini. Mereka tak harus memercayai TNI karena mereka bukan Paus yang tiap sabdanya diaminkan sebagai bentuk hukum. Mereka tak harus memercayai seorang pengamat politik seperti Salim Said karena ia (bahkan salah memandang laporan Nairn itu analisa, padahal jelas-jelas diterangkan kalau antar dirinya dengan sumber telah bertemu, bukan analisis)  tetaplah manusia walaupun lebih terpelajar daripada kita semua. Dalam kasus ini, yang perlu kita percayai adalah dua pihak dengan informasinya saja, terutamanya Nairn.
(4). Seperti pemerintah sendiri, rakyat butuh pemimpin yang dapat menyambung visi-misi mereka dalam hal sosial, politik dan ekonomi. Ketiga peran ini mestinya dipegang oleh kelompok yang terpelajar. Ekonomi harus oleh kalian semua, para buruh bersama para bankir; karena kalian yang mengatur perekonomian negara, bukan oknum-oknum korporat (sayangnya kita sudah terlanjur kapitalis). Politik tentunya oleh para mahasiswa dan pelajar karena keduanya pemuda dan pemuda telah lama berperan untuk mengembangkan negara sampai seperti sekarang ini, jika mereka sekali sadarkan diri dan mulai membaca buku Aksi Massa-nya Malaka. Sosial oleh orang-orang yang sadar akan lingkungan mereka sendiri; guru, pembantu. Saya bisa mencantum banyak golongan lain, tapi takut Anda kelelahan untuk membaca semuanya.
(5). Sebuah rakyat seharusnya tak sekalipun memercayai demokrasi Barat sebagai demokrasi terbaik untuk sesama kecuali terhadap pemerintah. Sayangnya karena ini, kita semua mengenal istilah 'bullying' yang seharusnya terjadi saja diantara anak kecil, dan orang menganggap kompetisi ditengah-tengah Pilkada dan Pilpres (bahkan Jokowi pernah sekali mengatakannya pula) seru. Apakah para pendukung Ahok dan Anies dapat dibilang demikian? Benar.
(6). Sebuah rakyat sudah seharusnya mementingkan rakyat lain, dari negara lain. Ini juga seharusnya dianuti oleh pemerintah karena politik kita tergolong bebas dan aktif; apa kita terlalu takut untuk berpihak dengan Komunisme Tiongkok seperti tingkah Soekarno dulu? Bahkan kita bisa bilang bahwa nasionalisme Soekarno yang mendorongkan Hatta untuk mencetuskan hak-hak politik tersebut. Padahal masa Orde Baru sudah dapat menyadari kita bahwa musuh utama sebuah rakyat adalah imperialisme, dan cara berfikir ini masih terjadi sampai sekarang dan juga dilakukan; di Suriah, di Guantanamo Bay bagi para tahanannya, di Myanmar, di Yaman, di Palestina, di Turki, di Thailand. Dan kita tak harus menunggu pemerintah untuk bersikap karena ujung-ujungnya kita semua manusia dan perlu bantuan satu sama lain
(7). Sebuah rakyat tak harus memiliki pendidikan yang setara. Namun mereka harus memiliki pendidikan non-korporat, sama seperti pemimpin-pemimpin yang saya sebutkan tadi. Apa yang saya maksud? Pendidikan non-korporat, dalam pengartian, memelajari hal-hal yang tak tercantum sebagai mata pelajaran sebuah sekolah. Sayangnya inilah yang sering terjadi di anak-anak generasi sekarang. Mereka berajang untuk mendapat peringkat tertinggi, nilai tertinggi, dan ketika ada yang memiliki keterampilan dalam suatuhal yang tidak tercantum sebagai mata pelajaran sekolah, mereka dicemooh dan ketika ditanya tentang pendapat mereka terhadap keadaan negara, mereka tercenggang tak tahu harus menjawab apa; persis seperti yang dijelaskan Ivan Illich dalam bukunya perihal cemooh tadi, sehingga pada akhirnya mereka hanya akan mendapatkan sebuah pekerjaan untuk sebuah perusahaan atau institut kemudian mereka mendapat gaji sebulan sekali dan bungkam terhadap segalamacam hal yang bisa saja memecahbelahkan negara secara riil. Padahal ada banyak hal lain yang dapat dipelajari; membaca koran sehari-hari sendiri sudah bentuk pemelajaran terhadap kondisi negara.