Mengatakan hal demikian dapat terdengar seperti lantunan musik indah di telinga kebanyakan orang dan paling terutamanya Anda sekalian selaku pembaca---saya pribadi ingin menahankan diri walaupun saya juga tak ingin berselang dengan beberapahal yang belakangan telah terjadi, mendorong saya bersamaan untuk menuliskan semua ini langsung dari pikiran dan tugas saya sebagai seorang Marxis. Mengingat pula dikarenakan pengepungan LBH Jakarta beberapawaktu lalu, saya sempat berhubungan dengan salah seorang aktivis Serikat Pemuda yang sekali ditengah-tengah pembicaraan kami, atau lebih tepatnya pengagasan rencana saya awali lebih dahulu, mengatakan bahwa saya dan kamerad-kamerad sejawat serta anggota-anggota pihak LBH tengah diawasi.oleh aparat keamanan bersama orang-perorangan dari ormas-ormas kanan-jauh.
Saya bertujuan mengaku untuk melindungi. Singkatnya seperti itu.
Namun tentunya saya tak dapat meyakini Anda sekalian dengan retorika-retorika tanpa bukti. Jika melihat dari kejadian pengepungan kemarin adalah karena dorongan fundamentalis; ingin memperjuangkan agama, walaupun ternyata pada awal informasi mengenai acara Asik Asik Aksi---diadakan sebagai jawaban dari pembubaran diskusi sejarah '65/66---sebagai peresmian PKI terbaru hanyalah sebatas hoaks semata. Mematikan, memang; dan saya sendiri memikirkan semiris berapa tingkat pikiran Anda sekalian untuk berfikir dan menerima semua ini sebagai suatuhal yang benar-benar terjadi walaupun jika sekiranya ada benar acara seperti itu, kepala RT akan langsung menggerebek kantor itu dengan sebatas pentungan kayu dan tuntutan melanggar TAP MPRS No. 11 sakral tersebut.
Jika kita tetap berbingkai diri pada pemikiran yang memahami ini sebagai benar, saya akan jelaskan pribadi mengenai sudutpandang saya terhadap haluan politik saya ikuti, seraya pula menjawab pertanyaan-pertanyaan umum maupun yang kurang pula dilayangkan walaupun sering dijadikan bahan generalisasi diantara kalangan-kalangan iliterat belakangan ini, dengan mengajarkan sedikit guna menambahkan sedikit kedalam kancah perbincangan mengenai wacana kiri yang makin membengkak dewasa ini serta mengingati pula pandangan kebanyakan orang mengenainya bagaimana (dan juga saya dongak dengan fasisme kegoblokkan ini pula)---setidaknya, sekali lagi, disisipi pandangan saya sendiri agar lebih menguatkan bahwa tiap Marxis memiliki perbedaan dalam berfikir secara idealis.
Banyak yang bertanya; bukankah Marxisme paham yang anti-agama? Memang benar; namun bukan dari pengartiannya yang harfiah lewat epifani-epifani patahan kata Marx pribadi di, misalkan, The German Ideologybahwa 'agama adalah sebuah candu'---bagi orang-orang awam, mereka memandangnya demikian walau ada lanjutan dari parafrase umum ini bahwa; 'agama adalah helaan nafas bagi yang teropresi. Ialah opium rakyat'. Ini berarti agama berfungsi sebagai tempat berpaling rakyat ketika tertindas. Ini berartikan pula agama bersifat per orangan dalam Marxisme. Pemimpin CC PKI, D.N. Aidit juga pernah mengatakan di wawancaranya dengan Solichin Salam, tanggal 12 Agustus 1964 dalam majalah Pembina pernyataan berikut;
'Marxisme adalah ilmu dan salah satu bagiannya ialah Materialisme Historis, yang menjelaskan hukum-hukum perkembangan masyarakat dan juga akar-akar sosial dari agama. Materialisme Historis menjelaskan secara ilmiah mengapa ada orang-orang yang memeluk agama. Kami berpendapat, agama yang dianut masing-masing orang adalah masalah pribadi. Karena PKI berdasarkan Marxisme, dan karena itu memahami dengan baik akar-akar sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama.
[...]Jadi, apakah agama itu candu bagi rakyat atau tidak harus kita lihat secara kongkrit. Jika agama digunakan untuk memperkuat kolonialisme, misalnya memperkuat kedudukan neo-kolonialisme Amerika Serikat atau memperkuat kedudukan neo-kolonialisme "Malaysia", maka agama betul sebagai candu untuk rakyat. Tetapi jika agama digunakan untuk menghantam kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme dan kapitalisme, maka hanya orang gila sajalah yang mengatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat.'
Kedua adalah pengeneralisasi paham bahwa kekejaman yang terjadi semasa Joseph Stalin menjabat, dibawah haluannya yang berjargonkan Marxis-Leninis, adalah kesalahan semua orang yang menganut Marxis. Tidak benar. Jika saya diperbolehkan untuk mengklasifikasikan diri, saya hanyalah seorang sosialis dalam pengartian Marxis, dengan nilai-nilai Leninis. Namun saya mengakui Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar nilai negara, selaku bentuk sikap perlawanan terhadap kecenderungan penghisapan antar manusia.
Saya berpendapat pribadi bagi kebanyakan kamerad saya yang mengikuti haluan Leninis, Stalinis, Hoxhoais, Maois dan menggabungkannya kedalam Marxis hanyalah mencampuradukkan sebuah paham mendasar menjadi sebuah dogma. Ketika seseorang terjerat kedalam suatu dogma, mampuslah kedigdayaan mereka sebagai seorang warganegara atau manusia asli karena mereka sekali mengakui diri sebagai Marxis A, berarti mereka akan menganggap pengembangan paham dari A itu benar walaupun secara harfiahnya Marxisme adalah ideologi yang lepas karena bentuknya yang belum terlalu sempurna dari fondasinya pribadi.Â
Karena inilah ada cendekiawan-cendekiawan yang mengembangkannya; memberi masukkan-masukkan terbaru untuk mengikuti zaman, dan perlulah salah seorang untuk mempelajari, setidaknya, semuanya berikut dengan paham-paham politis lain guna melahirkan lagi sebuah Marxisme yang baru dan mampu memberikan jawaban asli untuk perwujudan tiga-fase-pembangunan sebuah negara Marxis. Ini juga dikarenakan tiap revolusioner Marxis memiliki watak-watak amat distinktif mengenai Marxisme, latarbelakang ajaran berbeda bagi diri masing-masing, yang lumrah terjadi diantara intelegensia Marxis pasca kematian Marx-Engels---lebih tepatnya saat kemunculan Lenin, dimana diantara lingkaran suprastruktur negara Uni Soviet, yang dominan diisi dengan keberadaan pihak-pihak Bolshevik dan juga dipimpin Partai Komunis, terdapat cendekiawan-cendekiawan yang dekat dengan partai serta pejabatnya sendiri melepaskan diri dari fondasi Marxisme-nya Lenin, contohnya termasuk; Karl Kautsky dan G.V. Plekhanov.Â
Paling terutamanya adalah Kautsky pribadi dimana ia mencapai titik gencar menyerang Lenin dan Trotsky, walau Plekhanov-lah yang menjadi antagonis utama dari mereka berdua. Kemudian, singkat cerita, setelah kematian Lenin, adapula perseteruan antara Trotsky dengan Stalin dimana ia akhirnya diekstradisi dari negara; dari semua orang yang saya sebutkan disini, masing-masing mempunyai pandangan berbeda mengenai Marxisme.
Pendorongan bahwa Marxisme telah kukuh di pemikiran seseorang-lah yang menjadi kelemahan utama dari paham ini pribadi. Saya mengakuinya juga.
Ketiga, bukankah Marxisme sendiri sudah tidak bekerja dan mempan lagi buat negara kebanyakan sekarang, dimana contohnya seperti Cina telah menganut nilai-nilai kapitalis? Memang benar, dan inilah pertanyaan yang perlu dikembalikan kepada intelegensia-intelegensia progresif berhaluan seperti saya. Bagaimanakah langkah yang perlu diambil untuk menangani masalah kekunoan sistim ekonominya sendiri yang menistakan proses impor sebagai suatu bentuk hegemoni? Ini sebenarnya belum terjawabkan sampai sekarang dan saya juga belum mempunyai jawaban, walaupun, sebagai ideologi terbuka (dengan pengalaman praxisdan buku-buku teori cendekiawan-dalam sebagai bahan pemelajaran) Marxisme dapat dikembangkan untuk memilikinya.Â
Saya dapat menjelaskan lebih mendalam walaupun akan berisiko untuk membuat tulisan ini semacam pamflet ilmiah meski, singkat kata; menurut saya, Pancasila, yang selaras dengan cita-cita Marxisme, sudah punya terlebih dahulu terhadap pertanyaan ini. Namun mengapa jika demikian, saya menganggap diri sebagai seorang Marxis?
Seraya pemanfaatan nama Pancasila yang amat menjadi-jadi ke tujuan lebih melenceng---fasisme soak-otak (atau tanpa pemikiran lebih lanjut) sekarang, fasisme militeris dahulu, propaganda pembohongan lewat pendidikan dan terlebih utamanya neoliberalisme yang makin merebak---sudah lebih baik jika saya berdiri, dan baik pula bagi kebanyakan kamerad-kamerad sejawat saya, sebagai seorang Marxis ataupun Marhaenis; karena didalam sejarah para Marxis sendiri tak ada yang memutuskan untuk berkorupsi, tak seperti orang-orang yang mengaku Pancasilais namun main sama harta rakyat. Tak ada yang memutuskan untuk menggelondongi orang demi orang karena menganut paham agama berbeda daripada para anggota Partai. Tak ada diantara para pejabat Marxis dahulu slenge'andalam bertugas; tidur saat rapat, segalamacam.
Keempat, bukankah Marxis-Marxis telah menggasrak banyak korban jiwa dahulu? Terry Eagleton sempat melayangkan-balik pertanyaan ini dengan sebuah pertanyaan; bukankah konservatisme telah melakukan hal yang sama? Bukankah liberalisme telah melakukan hal yang sama? Liberalisme yang paling parah, menurut saya. Ia telah memiskinkan orang-orang dalam hitungan jutaan, membuat mereka pengangguran pula; sedangkan Marxisme tak se-berlebihan ini.Â
Kemiskinan dan pengangguran juga membunuh dibanding bekerja selaku mengabdi untuk negara serta pembebasan internasional; diantara kami, mengistilahkannya sebagai internasionalisme, namun ini dapat ditafsirkan sebagai nilai penghapusan penjajahan diatas dunia pada ayat pertama UUD 1945 karena eksploitasi imperialis ataupun fasisme juga sama persis seperti eksploitasi kapitalisme walaupun beda dalam keras penerapannya.
Kelima adalah pandangan PKI telah menjadi dalang penyiksaan ketujuh jenderal pada saat G30S lalu. Walaupun di saat-saat sekarang ini sudah tiba titik yang jelas; dimana tak ada bukti PKI benar-benar memprakarsai gerakan ini walaupun yang mengetahui adalah pihak-pihak pimpinan. Hanya' saja! Jika semuanya tahu, berarti itu mewakili PKI secara sebenar-benarnya---namun saya sisihkan semua ini untuk sementara, dengan mengatakan bahwa kesalahan PKI pada dahulu bukanlah kesalahan kita yang di kemudian waktu telah paham betul tentang rentang perjalanan sejarah negara kita sehingga memutuskan untuk menjadi seorang Marxis dan berfikir progresif untuk masadepan Indonesia. Film Pengkhianatan G30S/PKIpula telah diakui sebagai stigma Orde Baru untuk menggemborkan PKI dengan sejelek-jeleknya; menistakan jasa Aidit membebaskan kaum-kaum wong cilikdahulu pula serta perangainya pula sebagai seorang pemimpin.
Singkat kata, gerakan wacana kiri masihlah semata dalam titik terlemahnya; dan jika akan berkembang, tentulah akan berbeda jauh dari perihal 'kediktatan' yang terjadi pada dahulu kala. Kami menggandeng semuanya selagi itu sesuai dengan cita-cita kami; anti-eksploitasi dalam bentuk apapun. Kami tak menganggu Anda yang beragama Islam selama agama itu tidak digunakan untuk melanggar hak seseorang dari rakyat atau wong cilik.
Jika Anda seorang Pancasilais, kami mafhummenjadi kawan kalian karena impian kami juga setara dengan ketiga nilai tersebut; yang juga dimiliki ideologi Pancasila. Kami takkan menganggu selagi semua orang yang tertindas tidak diganggu; namun tentunya tanpa adanya kekerasan fisik dan verbal secara tidak berbobot diantara kita berdua karena kami paham akan adanya periode penindasan dalam sejarah negara kita yang masih berlanjut sampai sekarang.
Kami takkan mengulangi luka yang kami dan kebanyakan rakyat telah alami sendiri; walaupun ada separuh dari kalian mengikuti arus pesohor-pesohor yang melakukan demikian. Selagi kalian berkisar dalam anti-idealisme (terutamanya Kompasianer sekalian yang sering membuat artikel mengenai orang-orang miskin, suatu fenomena sosial yang miris, namun tak ada retorika tekad untuk mengubahnya melainkan hanya sekedar eksposisi), kami tetap berada di terdepan memperjuangkan hak rakyat tertindas sebagaimana kewajiban kami. Inilah sekiranya, kami semua---termasuk saya, tanpa memandang ras ataupun agama.
17/10/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H