Mohon tunggu...
Politik

Saya, Marxis

17 Oktober 2017   21:31 Diperbarui: 17 Oktober 2017   21:53 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengatakan hal demikian dapat terdengar seperti lantunan musik indah di telinga kebanyakan orang dan paling terutamanya Anda sekalian selaku pembaca---saya pribadi ingin menahankan diri walaupun saya juga tak ingin berselang dengan beberapahal yang belakangan telah terjadi, mendorong saya bersamaan untuk menuliskan semua ini langsung dari pikiran dan tugas saya sebagai seorang Marxis. Mengingat pula dikarenakan pengepungan LBH Jakarta beberapawaktu lalu, saya sempat berhubungan dengan salah seorang aktivis Serikat Pemuda yang sekali ditengah-tengah pembicaraan kami, atau lebih tepatnya pengagasan rencana saya awali lebih dahulu, mengatakan bahwa saya dan kamerad-kamerad sejawat serta anggota-anggota pihak LBH tengah diawasi.oleh aparat keamanan bersama orang-perorangan dari ormas-ormas kanan-jauh.

Saya bertujuan mengaku untuk melindungi. Singkatnya seperti itu.

Namun tentunya saya tak dapat meyakini Anda sekalian dengan retorika-retorika tanpa bukti. Jika melihat dari kejadian pengepungan kemarin adalah karena dorongan fundamentalis; ingin memperjuangkan agama, walaupun ternyata pada awal informasi mengenai acara Asik Asik Aksi---diadakan sebagai jawaban dari pembubaran diskusi sejarah '65/66---sebagai peresmian PKI terbaru hanyalah sebatas hoaks semata. Mematikan, memang; dan saya sendiri memikirkan semiris berapa tingkat pikiran Anda sekalian untuk berfikir dan menerima semua ini sebagai suatuhal yang benar-benar terjadi walaupun jika sekiranya ada benar acara seperti itu, kepala RT akan langsung menggerebek kantor itu dengan sebatas pentungan kayu dan tuntutan melanggar TAP MPRS No. 11 sakral tersebut.

Jika kita tetap berbingkai diri pada pemikiran yang memahami ini sebagai benar, saya akan jelaskan pribadi mengenai sudutpandang saya terhadap haluan politik saya ikuti, seraya pula menjawab pertanyaan-pertanyaan umum maupun yang kurang pula dilayangkan walaupun sering dijadikan bahan generalisasi diantara kalangan-kalangan iliterat belakangan ini, dengan mengajarkan sedikit guna menambahkan sedikit kedalam kancah perbincangan mengenai wacana kiri yang makin membengkak dewasa ini serta mengingati pula pandangan kebanyakan orang mengenainya bagaimana (dan juga saya dongak dengan fasisme kegoblokkan ini pula)---setidaknya, sekali lagi, disisipi pandangan saya sendiri agar lebih menguatkan bahwa tiap Marxis memiliki perbedaan dalam berfikir secara idealis.

Banyak yang bertanya; bukankah Marxisme paham yang anti-agama? Memang benar; namun bukan dari pengartiannya yang harfiah lewat epifani-epifani patahan kata Marx pribadi di, misalkan, The German Ideologybahwa 'agama adalah sebuah candu'---bagi orang-orang awam, mereka memandangnya demikian walau ada lanjutan dari parafrase umum ini bahwa; 'agama adalah helaan nafas bagi yang teropresi. Ialah opium rakyat'. Ini berarti agama berfungsi sebagai tempat berpaling rakyat ketika tertindas. Ini berartikan pula agama bersifat per orangan dalam Marxisme. Pemimpin CC PKI, D.N. Aidit juga pernah mengatakan di wawancaranya dengan Solichin Salam, tanggal 12 Agustus 1964 dalam majalah Pembina pernyataan berikut;

'Marxisme adalah ilmu dan salah satu bagiannya ialah Materialisme Historis, yang menjelaskan hukum-hukum perkembangan masyarakat dan juga akar-akar sosial dari agama. Materialisme Historis menjelaskan secara ilmiah mengapa ada orang-orang yang memeluk agama. Kami berpendapat, agama yang dianut masing-masing orang adalah masalah pribadi. Karena PKI berdasarkan Marxisme, dan karena itu memahami dengan baik akar-akar sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama.

[...]Jadi, apakah agama itu candu bagi rakyat atau tidak harus kita lihat secara kongkrit. Jika agama digunakan untuk memperkuat kolonialisme, misalnya memperkuat kedudukan neo-kolonialisme Amerika Serikat atau memperkuat kedudukan neo-kolonialisme "Malaysia", maka agama betul sebagai candu untuk rakyat. Tetapi jika agama digunakan untuk menghantam kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme dan kapitalisme, maka hanya orang gila sajalah yang mengatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat.'

Kedua adalah pengeneralisasi paham bahwa kekejaman yang terjadi semasa Joseph Stalin menjabat, dibawah haluannya yang berjargonkan Marxis-Leninis, adalah kesalahan semua orang yang menganut Marxis. Tidak benar. Jika saya diperbolehkan untuk mengklasifikasikan diri, saya hanyalah seorang sosialis dalam pengartian Marxis, dengan nilai-nilai Leninis. Namun saya mengakui Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar nilai negara, selaku bentuk sikap perlawanan terhadap kecenderungan penghisapan antar manusia.

Saya berpendapat pribadi bagi kebanyakan kamerad saya yang mengikuti haluan Leninis, Stalinis, Hoxhoais, Maois dan menggabungkannya kedalam Marxis hanyalah mencampuradukkan sebuah paham mendasar menjadi sebuah dogma. Ketika seseorang terjerat kedalam suatu dogma, mampuslah kedigdayaan mereka sebagai seorang warganegara atau manusia asli karena mereka sekali mengakui diri sebagai Marxis A, berarti mereka akan menganggap pengembangan paham dari A itu benar walaupun secara harfiahnya Marxisme adalah ideologi yang lepas karena bentuknya yang belum terlalu sempurna dari fondasinya pribadi. 

Karena inilah ada cendekiawan-cendekiawan yang mengembangkannya; memberi masukkan-masukkan terbaru untuk mengikuti zaman, dan perlulah salah seorang untuk mempelajari, setidaknya, semuanya berikut dengan paham-paham politis lain guna melahirkan lagi sebuah Marxisme yang baru dan mampu memberikan jawaban asli untuk perwujudan tiga-fase-pembangunan sebuah negara Marxis. Ini juga dikarenakan tiap revolusioner Marxis memiliki watak-watak amat distinktif mengenai Marxisme, latarbelakang ajaran berbeda bagi diri masing-masing, yang lumrah terjadi diantara intelegensia Marxis pasca kematian Marx-Engels---lebih tepatnya saat kemunculan Lenin, dimana diantara lingkaran suprastruktur negara Uni Soviet, yang dominan diisi dengan keberadaan pihak-pihak Bolshevik dan juga dipimpin Partai Komunis, terdapat cendekiawan-cendekiawan yang dekat dengan partai serta pejabatnya sendiri melepaskan diri dari fondasi Marxisme-nya Lenin, contohnya termasuk; Karl Kautsky dan G.V. Plekhanov. 

Paling terutamanya adalah Kautsky pribadi dimana ia mencapai titik gencar menyerang Lenin dan Trotsky, walau Plekhanov-lah yang menjadi antagonis utama dari mereka berdua. Kemudian, singkat cerita, setelah kematian Lenin, adapula perseteruan antara Trotsky dengan Stalin dimana ia akhirnya diekstradisi dari negara; dari semua orang yang saya sebutkan disini, masing-masing mempunyai pandangan berbeda mengenai Marxisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun