Mohon tunggu...
Gika Nassyanda
Gika Nassyanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi Universitas Brawijaya

Mahasiswa S1 Sosiologi Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Es Krim dan Eksploitasi: Dinamika Konflik Hubungan Industrial PT Alpen Food Industri dalam Tinjauan Marxisme

18 Desember 2024   10:05 Diperbarui: 20 Desember 2024   10:57 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis: Emmanuella Deslovina Manik & Gika Nassyanda Putri

Dalam dunia ketenagakerjaan, sebuah hubungan industrial perlu untuk menjaga keharmonisan antara pekerja dengan pengusaha. Pada realitanya, hubungan industrial pasti melewati masa-masa tidak stabil yang memungkinkan terjadinya perselisihan antara pihak pekerja dengan pengusaha. Perselisihan umumnya dapat terjadi karena tidak dipenuhinya hak akibat perbedaan kesepakatan atau pendapat terkait kepentingan, permasalahan upah, kesejahteraan pekerja, dan perlindungan hak-hak pekerja sesuai peraturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut didukung sebagaimana yang tertera dalam Ketentuan Pasal 1 UU Nomor 2 tahun 2004 menyatakan perselisihan menyangkut hak, kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 

Konflik di Balik Manisnya Es Krim AICE

Didirikan di Singapura sejak Mei 2015, PT Alpen Food Industry merupakan perusahaan yang bergerak di industri makanan, khususnya pada produksi es krim dengan slogan "have an aice day" yang menggambarkan keceriaan dan kesenangan bagi setiap konsumen saat menikmati produknya (Desrina, 2024). Namun, dibalik slogan tersebut ternyata terjadi sebuah konflik yang menegangkan antara pekerja dengan perusahaan. Konflik tersebut bermula dari tidak terpenuhinya hak-hak buruh yang seharusnya mereka dapatkan ketika bekerja di perusahaan Aice, hal ini dilanjutkan dengan aksi mogok kerja dan unjuk rasa sebagai bentuk protes karyawan. Dilansir dari CNN Indonesia, perselisihan pihak perusahaan dan serikat buruh sudah berlangsung lama bahkan sejak 2017 isu ini semakin naik kepermukaan. Adapun beberapa pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang menjadi isu permasalahan, yaitu mengeksploitasi buruh perempuan khususnya dalam keadaan hamil dengan pekerjaan berat di malam hari, mempersulit buruh dalam mengambil cuti, perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh pihak perusahaan, dan upah yang tidak layak. Kasus ini menggambarkan dengan jelas perselisihan antara pengusaha yang berusaha memaksimalkan keuntungan dengan menekan biaya produksi dan pekerja yang menuntut pemenuhan hak-haknya sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan.

Analisis Konflik Ketenagakerjaan pada Kasus AICE

Kasus PT Alpen Food Industry yang terkenal dengan es krim merk Aice, telah menjadi sorotan publik terkait adanya pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang dialami oleh para buruhnya. Dalam konteks ini, analisis hukum ketenagakerjaan sangat penting dalam memahami berbagai pelanggaran yang terjadi serta dampaknya terhadap hak-hak pekerja. Salah satu pelanggaran yang paling mencolok yang dilakukan oleh PT Alpen Food Industry adalah ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang No.13 Tahun 2003 terkait ketenagakerjaan. Perusahaan ini melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dan menganggap aksi mogok buruh sebagai pengunduran diri. Hal ini tentu melanggar UU Ketenagakerjaan pada Pasal 59 yang menyatakan bahwa perusahaan wajib memperlakukan buruh sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati (Desrina, 2024). Selain itu, terdapat banyak buruh di perusahaan tersebut yang terjebak dalam kontrak jangka pendek, sehingga tidak ada kepastian status sebagai karyawan tetap.

Isu eksploitasi buruh perempuan juga menjadi hal yang penting untuk dianalisis. Terdapat banyak laporan yang menunjukkan bahwa buruh perempuan di Aice tidak mendapatkan perlindungan yang memadai, terutama terkait hak maternitas dan keselamatan kerja (Desrina, 2024). Hal ini terjadi ketika perusahaan mempekerjakan perempuan hamil pada malam hari dan memberikan tugas dengan beban yang berat. Dalam hal ini, perusahaan melanggar Pasal 82 UU Ketenagakerjaan yang menegaskan bahwa pekerja perempuan berhak mendapatkan perlindungan khusus selama masa kehamilan. Tidak hanya beban kerja yang berat, banyak buruh perempuan yang kesulitan dalam mendapatkan cuti haid. Selain itu, kondisi kerja di Aice juga turut mengkhawatirkan. para buruh sering terpapar bahan kimia berbahaya seperti amoniak tanpa perlindungan yang memadai. Hal ini bertentangan dengan prinsip Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang seharusnya diterapkan dan menjadi perhatian perusahaan (Desrina, 2024). Dengan demikian, perusahaan tidak hanya melanggar hak-hak pekerja, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang berbahaya.

Menanggapi beberapa pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang telah dilakukan, perusahaan Aice menyatakan bahwa pihak perusahaan telah memberikan surat panggilan kepada para buruh sehingga aksi mogok kerja dinilai tidak sah dan dinyatakan sebagai pengunduran diri (Wulandari et al., 2023). Dengan argumen tersebut, perusahan tidak menerima tuntutan adanya Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak (PHK) sepihak sesuai dengan prosedur dan undang-undang yang berlaku. Jika ditinjau lebih lanjut, salah satu faktor yang memperburuk perselisihan tersebut adalah ketidakjelasan komunikasi antara pihak pengusaha dan pekerja. Hal demikian cenderung membuat pekerja merasa tidak diberdayakan dan terabaikan, serta menimbulkan kecurigaan pada niat perusahaan (Sutrisno, 2020). 

Analisis Permasalahan Hubungan Industrial dalam Perspektif Karl Marx

Jika ditinjau lebih lanjut, perselisihan yang terjadi menyangkut eksploitasi pekerja dapat dianalisis melalui perspektif Karl Marx mengenai kapitalisme. Sistem kapitalisme sendiri bergantung pada eksploitasi tenaga kerja yang secara maksimal digunakan untuk memperoleh keuntungan dengan upah minim yang tidak setara dengan beban kerja, bahkan dalam kasus Aice ini terdapat pelanggaran standar kesehatan kerja dikalangan kelas pekerja. Ketimpangan kekuatan antara perusahaan sebagai pemilik modal (borjuis) dan pekerja (proletar) dapat dilihat dalam kasus Aice, perusahaan secara dominan memiliki kendali atas kebijakan kerja sehingga dalam hal ini posisi buruh sebagai kelas pekerja banyak dirugikan dan ketergantungan pada perusahaan. Sejalan dengan pandangan Marx, kondisi demikian memposisikan buruh terpisah dari lingkungan sosialnya dan mengalami keterasingan akibat sistem kapitalisme yang menekan jam kerja mereka. Inilah konsekuensi dari sistem kapitalisme yang mana para buruh hanya dianggap sebagai alat produksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun