Ada langit warna jambu yang masak di ujung bola mata yang hampir terisak. Sesak. Begitu katamu kala mengingat masa itu. Dan berjanji untuk esok hari pada diri sendiri. Sementara kopi kita tinggal setengah. Terengah kau menjiwai liku cerita yang kau senandung kembali. Hampir klimaks, aku terus menyimak, bendung di matamu makin menyeruak.Â
Kedua telapak kau taruh di muka, kaki kita singgung di bawah meja. Aku kau biarkan lamat-lamat mengamati mata mentari yang hampir mati, di tengah rundung elegi. Tahu aku kau butuh bahuku dan aku mau. Dan mau aku beri kau waktu, untuk tersedu.Â
Lagumu belum selesai. Kehentian waktu, mata kaca, singgung kaki dan keinginanku membatu. Untuk membantu, ya selebihnya kuserahkan padamu. Bisikan untuk memelukmu tak usai-usai. Layaknya mimik mukamu melambai-lambai, berderai-derai, mengajak ingkar.Â
Oh, sial..
Lalu aku sadar,Â
Sudah aku punya pacar.Â
Sore-sore itu, gijenal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H