Sungguh, kita tersesat di malam-malam itu. Malam beku bersalju dan kau bakarkan kayu dengan tawamu. Kita bicara sebagai orang yang sama-sama mencari rumah tanpa kompas dan arah. Kita sama-sama mencari tahu apa kau atau aku sama-sama mau untuk singgah sungguh-sungguh.
Namun kita paham betul, rumah singgah itu terlalu rapuh, dan kita terlalu banyak mengeluh. Maka kita perlahan mengayuh jauh-jauh sepeda dengan jalan yang berbeda. Meski bau tawamu masih menyesaki dada. Usil bayangmu yang penuh canda.Â
Aku benci nasib yang terus memaki dengan mengantarmu ke dalam mimpi, setiap hari. Tak cukup jauhkah jalan yang kita tempuh hingga harus bertemu lagi?Â
Tahukah kau, aku menyerah sejak kau telah temukan rumah. Namun aku malah tetap putar arah, merekonstruksi tempat singgah dan berharap kau bakal betah.
Aku jauh terlambat. Jelas hatimu kini sudah tertambat untuk rumah yang tepat. Namun maukah kau sedikit menjabat tanganku? Tak perlu bicara, datang saja dan berdustalah perihal rumah barumu. Dengar debarku, dengar jerit bisu ku, dengarlah harapan dungu yang mencoba menemukan diriku dalam dirimu.
Ah, semoga kau tidak pernah tahu.
Jakarta, Agutus 2018, gijenal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H