Mohon tunggu...
Gigih Prastowo
Gigih Prastowo Mohon Tunggu... Administrasi - Student

Anak Desa, mantan office boy |Future Finance Expert |Pendaki |Management Student | FEUI 2013 | @gigihprastowo

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sisi Nurani Kenaikan Harga BBM

12 November 2014   07:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:01 6326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Aku memang belajar di Fakultas Ekonomi, dalam hal kebijakan kenaikan harga BBM selalu diidentikan dengan orang yang akan mendukung pengurangan subsidinya. Banyak yang menganggap kami terlalu terpaku pada angka-angka dan mengabaikan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Banyak yang menyuruh kami menggunakan hati nurani kami daripada logika dan melihat permasalahan lebih lebar seperti korupsi, yang katanya membebani negara lebih dari beban subdisi BBM.

Ini terlihat dari diskusi-diskusi lintas fakultas yang kami lakukan, bahkan malam ini twitter @BEMUI_Official dan @BEMUI_Change meributkan soal itu, dengan prespektif yang sama. Logikanya adalah ketika harga BBM naik, maka harga kebutuhan lain ikut naik, membuat rakyat makin sengsara dan kami diminta untuk lebih menggunakan NURANI dalam berpikir dan bertindak.....BAIKLAH, AKU TURUTI.. INI TANGGAPAN NURANIKU:

Nurani, sebuah yang muncul dari hati kecil..

Dan hati kecilku kini berteriak...

Ah, aku ini seorang yang sejak lahir belum pernah merasakan memiliki kendaraan bermotor sendiri. Selalu merasa iri pada mereka yang memiliki kendaraan bermotor dan dibayar ketika mereka hendak menggunakannya. Aku dulu harus naik sepeda Sentolo-Jogja PP (+-50km) seminggu tiga kali saat SMK untuk bekerja, demi mendapatkan uang 20ribu-50ribu sekali jalan. Karena angkot di Jogja tak sampai malam, sore jam empat pun habis.

Saat aku tau semua pengguna premium kala itu, dan hingga kini DIBAYAR pemerintah untuk konsumsi mereka, hatiku begitu tergerus. Bagaimana mungkin, mereka yang konsumsi justru diberi UANG oleh pemerintah untuk motor mereka, yang bisa 4000an setiap liternya. Apalagi pengguna mobil, yang bisa sampai puluhan liter tiap bulan, kalikan saja sobat berapa yang dia nikmati SECARA CUMA-CUMA tiap bulannya. Misal sehari 5 liter untuk mobil mereka, maka Rp. 20.000an NEGARA BAYARKAN bensinnya!

Itu tadi nurani pribadiku. Sebagai seorang yang masih sehat rohani dan dan bugar jasmaninya, masih muda. Ah, aku tak bisa bayangkan kalau Mbah Jum  tau perihal ini. Mbah Jum yang jika ke pasar bahkan tidak pakai sepeda (karena tidak punya), dan dia membawa kelapa. Rumahnya di Jangkang, sebuah daerah pegunungan Sentolo, dan pasar Sentolo berada 3 km dari rumahnya. Jalannya naik-turun.

Berapa sih kelapa yang muat dalam sekali panggul seorang wanita berusia 50-60an? Berapa keuntungannya sehari ke pasar? Aku ragu itu sampai Rp. 20.000. Pertanyaan berikutnya, apakah kelapanya itu pasti dari kebunnya. Kalau iya masih untung, kalau dia juga harus beli, maka semakin sedikit uang yang ia dapat dari kerjanya naik turun bukit Jangkang, Sentolo tiap hari. Dia harus menjalani hari-hari yang keras seperti itu dan orang yang lebih mampu dari dia DIBANTU negara untuk beli bensin, untuk kendaraannnya! Kendaraan yang mungkin bahkan sudah Mbah Jum ikhlaskan, ikhlas bahwa dia mungkin tidak akan memilikinya sampai akhir hayatnya. Ah, orang di Gunung Kidul pasti lebih iri lagi. Betapa tidak?! Daerahnya lebih gunung, bahkan kadang mereka harus menyunggi air saat kemarau. Naik-turun!

Aku jadi hendak menangis jika melihat saudara-saudara kita di Indonesia Timur sana. Mereka juga orang Indonesia, BUNG! Orang Jawa terlalu kejam pada mereka. 300 triliun lebih uang negara dihabiskan untuk mensubsidi orang-orang pemilik kendaraan yang kebanyakan di Jawa. Di Papua, harga sudah 3-5 kali lebih mahal dari harga minyak dunia, dan orang di Indonesia Barat berteriak ketika harga ingin DIDEKATKAN dengan harga minyak dunia, karena kita di Indonesia Barat biasa mengkonsumsinya dengan dua pertiga harga seharusnya!

Kita sering mengatakan dengan sterotip bahwa orang Indonesia Timur itu keras pribadinya. Hei! Sadar Bung, kau bilang suruh gunakan nurani. Betapa kejam kita yang menganggap mereka keras hanya dari cara berbicaranya. Padahal, hati mereka begitu lembut, begitu sabar atas ketidak adilan yang mereka hadapi. Bayangkan jika 300 triliun per tahun itu tidak menjadi keegoisan kita selaku orang "Barat", yang ingin terus disubsidi. 300 triliun yang sebenarnya bisa untuk membantu membangun infratruktur di sana. Merealisasikan tol laut. Sehingga biaya ke Timur menjadi murah. Dan mereka bisa membeli kebutuhan barang-barang yang sama dengan kita, dengan harga yang sama dengan "saudara tiri"nya di Barat.

Ah, mereka sabar sekali, Kawan. Mereka tak pernah melakukan protes besar-besaran untuk ketidakadilan nyata ini. Mereka diam dan mungkin hanya bisa menghardik nasib yang melahirkan mereka di Timur. Yang membuat mereka menerima takdir bahwa biaya angkut ke tempat mereka memang mahal. Bahkan satu sak semen bisa satu juta di sana! Padahal, di waktu mereka sabar sebenarnya ada kesempatan, ada uang untuk membuat apa yang hanya mimpi bagi anak-anak Nangaseran, di Kalimantan Timur yang bahkan sekolahnya beralas tanah, atapnya sering bocor dan BBM disana 2x dari harga minyak dunia, bahwa mimpi mereka sebenarnya bisa terwujud! Mimpi untuk hidup dengan cara yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun