Hari ini (27/11), di berbagai media marak diberitakan aksi mogok Dokter di seluruh Indonesia. Aksi tersebut dilakukan lantaran sebagai bentuk solidaritas atas dr. Dewa Ayu terkait perbuatan kealpaannya menyebabkan matinya orang lain yang diputuskan bersalah dan melakukan tindak pidana oleh MA.
Sebagai bentuk dukungan untuk teman seprofesi hal tersebut sah-sah saja, apalagi Indonesia adalah negara demokrasi. Namun menurut saya, meski sehari hal tersebut dapat menghambat pelayanan kesehatan walaupun pelayanan emergency tetap berjalan seperti biasa. Dengan menggelar aksi tersebut para dokter terkesan ingin menyampaikan “Bisa apa kamu tanpa saya?”.
Profesi sebagai dokter dinilai sebuah pekerjaan yang mulia dan membantu masyarakat dengan keahlian profesional yang mereka miliki. Waktu saya kecil, ketika saya mendengar kata dokter atau berobat ke dokter saya sangat kagum pada mereka yang dapat membantu menyehatkan masyarakat, mereka sering dianggap orang-orang pilihan dan pintar tentunya.
Namun belakangan ini pemikiran saya tentang profesi dokter sedikit berubah, memang banyak dokter yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan berniat membantu menyehatkan masyarakat, tetapi tujuan ingin menjadi dokter bagi banyak orang berbeda-beda, untuk hidup yang layak? Status sosial? Meneruskan profesi orang tua? atau memang benar-benar memiliki niatan yang mulia untuk mengabdi kepada masyarakat melalui gelar yang disandangnya.
Penegakan hukum atas malapraktik memang harus dilakukan secara serius, karena saat ini profesi dokter bisa didapat dengan mudah dengan membayar kuliah sekian ratus juta di sebuah universitas. Soal intelegensi bisa menjadi nomor selanjutnya setelah uang…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H