Mohon tunggu...
Gigih Cahyo Aji
Gigih Cahyo Aji Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Berusaha Sharing yang terbaik

WE READY TO SHARE

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hujan

20 Juni 2020   00:00 Diperbarui: 20 Juni 2020   00:02 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetesan air turun mengurai dasar hati
Mengulik ingatan dan memunculkan kembali
Memaksa ia untuk bangun mencari pikiran untuk dijadikan tumpahan pelampiasan
Menyendiri
Tak ada suara, tapi bising dalam ingatan
Suara-suara cerita lama, menggema memantul berulang-ulang, seakan terkungkum dalam ruangan berlabel kenangan

Berputar-putarlah ia dengan banyak isyarat dan bahasa
Mulai dari senyum merona karena asmara
Persahabatan yang tertawa bergembira
Pengalaman hidup sebagai guru terbaiknya
Sampai, cerita sedih pujaan hati yang menegaskan pergi dari hatinya.

Dari Seribu kata manis, menggesek setiap detik untuk memuji pujaan hati
Sampai seribu kata manis itu berganti menjadi berfikir keras bagaimana cara melupakan yang telah pergi.
Iya siapa lagi, kalau bukan pujaan hati.

Membaca kata per kata, kalimat per kalimat.
Dan kutemukan pola dalam rolling kehidupannya dari kata manis mudah terucap, sampai akhirnya dia lupa untuk mengingat, bagaimana dia dulu mendamba dan memujinya.

Layaknya aku dalam kehidupannya.
Dari jutaan ciutan di dunia maya, membuatku terlena dalam keseharian
Semangat membara tak ada rasa lelah
Banyak ungkapan kita tentang masa depan
Kekhawatiran yang manja selalu tercurahkan
Melebur menjadi sebuah khayalan, ketika aku lakukan satu kesalahan.

Teringat tadi dalam kenangan
Pola yang lagi lagi menakutkan ku
Banyak hati mencuri cela, saat gejolak dalam hati sedang berperang
Banyak godaan masa lalu , yang membuat terlena dalam penyesalan
Ego yang kuat menegaskan pendapatnya lah yang paling benar
Setelah semua itu
Telah sampai pada kadar ketakutan, dia lupa cara mendambaku, dan menemukan cara melupakanku.

Hancurlah,
Jutaan kata manis untuk menggambarkan bahtera kita
Runtutan harapan yang sudah kita bina
Sampai janji-janji untuk selalu setia
Musnah
Kau memutuskan menolak mengingat bagaimana dirimu mendamba

Ketegaran Ku yang memutuskan menanam dalam-dalam cara mendambamu yang terlalu dalam
Dan mengingat setiap kebahagiaan yang tercipta disetiap keseharian
Membangun kokoh cinta yang kita bangun dalam kebersamaan
Itulah caraku menahan bagaimana melawan setiap penasaran yang manjadi ancaman

Dan akhirnya, aku masih saja mencintaimu begitu dalam
Melihatmu bahagia di samping hatiku yang sedang kesepian
Menahan rasa kerinduan yang teramat dalam
Yang hanya kepadamu bahagia dan sedihku kupertaruhkan
Dan semua yang aku semogakan,  berharap berkahir dengan kata aku sayang kamu dalam pelukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun